Oleh : Tengku Zulkifli Usman (Analis Politik)
Selasa 22 Januari, pemerintah RI melalui Kemenkominfo akan resmi membatasi fitur forward pesan whatsapp hanya ke 5 kontak saja. Pembatasan ini alasan utama nya adalah untuk membatasi lalu lintas viralitas pesan agar berita hoax bisa ditekan. Lucunya, kerjasama ini dilakukan untuk menyambut pilpres 2019, tentu ini terindikasi kuat untuk kepentingan politik.
Karena pemilih yang melek teknologi di Indonesia angkanya cukup besar, dan rata-rata adalah segmentasi pemilih capres No. 2 Prabowo-Sandi. Pengguna whatsapp di Indonesia tidak kurang dari 100 jutaan, mayoritas mereka adalah kalangan menengah ke atas di mana segmen pemilih Prabowo adalah yang terbesar ada disini.
Mengacu kepada survei politik bulan ini, pemilih Jokowi masih mayoritas menang di kalangan tamatan SD dan tidak tamat SD, otomatis mayoritas kalangan ini tidak memakai aplikasi whatsapp (lihat sampel survei Median dan Alvara).
Diluncurkannnya program pembatasan forward pesan hanya ke 5 kontak saja ini tercium sangat politis, karena berlaku sebelum pemilu, ini langkah nyata memonopoli informasi dengan mengatasnamakan perang terhadap hoax.
Tujuan utama program ini sangat mudah dibaca secara politik, yaitu menekan angka pemilih Prabowo tiga bulan mendatang sampai hari H 17 April nanti. Kerjasama pemerintah RI dengan Whatsapp yang menginduk ke perusahaan induknya yakni faceebook adalah upaya lain capres petahana yang ingin memenangkan pilpres dengan menggunakan tangan kanannya Menkominfo Rudiantara.
Tidak tanggung tanggung, bos whatsapp bidang politik dan juga bidang komunikasi di level global turun tangan dan sudah mematangkan pembicaraan ini dengan KPU dan Bawaslu RI. Langkah langkah politik seperti adalah sangat arogan dan abuse of power, ini bisa dikatakan sebagai upaya menekan suara rakyat yang ingin mengganti presiden.
Alasan Menkominfo dan KPU juga bawaslu dalam hal ini terkesan mengada ngada, padahal soal hoax bukan hanya soal whatsapp atau facebook. Alasan ini juga gak berimbang karena disaat whatsapp dibatasi untuk forward pesan, sedangkan media media mainstream yang terus menebar hoax minimal tidak fair dalam pemberitaan soal pilpres terus saja dibiarkan karena menguntungkan capres petahana.
Alasan lain yang tak masuk akal adalah, Menkominfo menjadikan India sebagai alasan dan contoh, karena di India juga sudah dibatasi forward pesan whatsapp. Padahal di India sangat wajar karena penduduk india diatas 1 miliar dan memang perlu pengawasan ekstra ketat disana, tidak seperti Indonesia yang masih relatif belum mengkahwatirkan, lagian di India juga tidak ada isu 2019GantiPM.
Semua aturan aturan ini adalah tidak fair, arogan dan memanfaatkan kekuasaan untuk kembali menang pemilu dengan cara cara haram. Ini karena saat ini, elektabilitas capres Nomor 1 semakin mengkahwatitkan, sisa selisih hanya 9% dengan Nomor 2, dan bahkan Nomor 2 saat ini sudah menang telak di pulau Sumatera dengan selisih hampir 15% dengan Nomor 1. (Baca hasil survei terbaru pekan ini di media media).
Arogansi seperti ini harus dilawan karena bertentangan dengan asas asas demokrasi yang sehat dan penghargaan atas kedaulatan suara rakyat. Memonopoli informasi demi politik adalah salah satu kejahatan demokrasi. Kalau pemerintah tidak mampu bersaing secara fair, jujur dan adil, maka lebih baik Nomor 1 mundur sebagai capres dan jangan menghabiskan puluhan triliyun uang rakyat demi nafsu serakah kekuasaan dalam bentuk pilpres yang menipu.