Oleh : M Rizal Fadillah
Konperensi pers Tim Pengacara Muslim (TPM) tentang pembebasan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir menohok. Anggota TPM Mahendradatta minta pembebasan Ba’asyir tidak dipolitisir. Ini persoalan hukum biasa. Pernyataan ini lumayan buat “menampar” yang merasa diri pahlawan atau yang merasa bahwa ini adalah “kehebatan” Jokowi yang begitu menghormati ulama. Hal lain, yaitu berkaitan dengan Century yang dibandingkan betapa dahsyatnya pemberian remisi kepada terpidana kasus Bank Century Robert Tantular. Remisinya 77 bulan atau 6 tahun. Dengan melihat ini maka pembebasan Ba’asyir harus dinilai sebagai hal yang biasa. Jangan didramatisasi.
Tembakan ke terpidana kasus Bank Century menarik, karena penanganan kasus ini realitanya bertele-tele, banyak pertimbangan, dan tentu banyak pula kepentingan politik di dalamnya. Kasus saat Gubernur Bank Indonesia (BI) dijabat Boediono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani ini mencuat karena suntikan dana (bailout) yang fantastis dengan alasan bank gagal berdampak sistemik. Terakhir dibulan November 2018 pemeriksaan 21 saksi termasuk Miranda Gultom dan ketua OJK Wimboh Santoso. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan praperadilan yang memerintahkan KPK untuk melanjutkan pemeriksaan hukum. Arahnya menjadikan tersangka mantan Wakil Presiden Boediono.
Satu lagi kasus korupsi besar adalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) . Pada bulan September 2018 telah divonis Syafruddin Arsyad Tumenggung 13 tahun oleh Pengadilan Negeri Tipikor atas penerbitan SKL yang berakibat kerugian 4,5 Trilyun. Hak tagih negara kepada Syamsul Nursalim pemilik BDNI menjadi hilang. Menurut Kwik Kian Gie penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) adalah karena kebijakan Presiden saat itu Megawati. Meski Banding tapi mengingat disebutkan bahwa ini adalah pidana yang dilakukan bersama-sama, maka KPK tentu dituntut untuk melakukan pemeriksaan hingga ke hulu. BLBI sangat merugikan negara atas kebijakan memproteksi usaha perbankan tersebut.
Dua kasus korupsi besar di Indonesia Century dan BLBI menggelinding dalan proses hukum. Namun publik melihat penyelesaian kasus ini berjalan lambat sehingga di samping menguras enerji, juga tidak membawa efek jera bagi para pengemplang duit negara. Anggapannya toh kasus besar juga prosesnya lelet. Tenang saja. Bacaan publik menyimpulkan biasanya ada aspek politik yang menghambat penuntasan kasus seperti ini.
Kini para kandidat Presiden dan Wakil Presiden dalam rangka kampanye, memasang wajah serius, heroik, dan mendapat tepuk tangan pendukung saat konsepnya adalah memberantas korupsi. Keakar-akarnya katanya. Akan ditagih nanti pembuktian. Meski persoalan korupsi adalah ranah hukum, namun politik bisa memberi dukungan bagi penuntasan. Tanpa masuk ke kompetensi judisial tentunya. Karenanya Presiden baru nanti harus siap membantu sekuat tenaga, bila perlu berkorban jabatan, serta siap melawan tekanan untuk menuntaskan dua kasus korupsi besar Century dan BLBI ini.
Kita butuh Presiden pemberani dan pejuang bukan pemimpin pecundang atau ia yang hanya bisa menjadi kaki tangan. Dapat dimainkan, ditekan, atau dipangku dan digendong-gendong. Presiden boneka pemeran tukang bual dan pengadu domba. Buang saja ke tempat sampah Presiden abal abal seperti ini. Ganti yang lebih bermutu.