Inayatullah Hasyim
(Dosen Universitas Djuanda Bogor)
Setelah Nabi Khidir melubangi perahu yang ditumpanginya bersama Nabi Musa, lalu membunuh anak kecil tanpa dosa, mereka kemudian memasuki sebuah kampung. Alih-alih menjamu, penduduk kampung itu tak mau melayani mereka. Tetapi, saat melihat ada tembok yang hampir runtuh, Nabi Khidir menopang tembok itu, hingga Nabi Musa berkata, mestinya kau dapat upah atas perbuatan baikmu itu.
Sesuai kesepakatan bahwa Nabi Musa tidak boleh bertanya lagi setelah dua pertanyaan sebelumnya (mengapa perahu dilubangi, mengapa anak kecil dibunuh?), maka Khidir pun mengatakan, mulai sekarang kita pisah. Lalu, sebelum pisah, Nabi Khidir menjelaskan bahwa tembok itu milik dua anak yatim di kota itu. Allah hendak menyelamatkan tembok itu karena di bawahnya ada harta pusaka milik kedua orang tua mereka agar dapat dinikmati oleh kedua anak yatim itu kelak.
Kisah di atas diwahyukan Allah SWT dalam surah al-Kahfi ayat 77 dan 82. Allah SWT berfirman,
فَانطَلَقَا حَتَّىٰ إِذَا أَتَيَا أَهْلَ قَرْيَةٍ اسْتَطْعَمَا أَهْلَهَا فَأَبَوْا أَن يُضَيِّفُوهُمَا فَوَجَدَا فِيهَا جِدَارًا يُرِيدُ أَن يَنقَضَّ فَأَقَامَهُ ۖ قَالَ لَوْ شِئْتَ لَاتَّخَذْتَ عَلَيْهِ أَجْرًا
“Maka keduanya berjalan hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hendak roboh, maka Khidhir menegakkan dinding itu. Musa berkata: ‘Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu.’
Lalu Allah berfirman,
وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنزٌ لَّهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَن يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنزَهُمَا رَحْمَةً مِّن رَّبِّكَ ۚ وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي ۚ ذَٰلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِع عَّلَيْهِ صَبْرًا
“Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang shalih, maka Rabbmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Rabbmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah takwil (tujuan perbuatan-perbuatan) yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.”
Pada dua ayat di atas, Allah menyebut kata “قرية” (kampung) ketika mereka (Khidir dan Musa) tak dijamu. Lalu, mengunakan kata “مدينة” (kota) saat menjelaskan bahwa tembok itu milik dua anak yatim.
Penggunaan kata “kampung” dan “kota” juga ada dalam surah Yasin. Pada ayat ke- 13, Allah SWT berfirman,
وَاضْرِبْ لَهُم مَّثَلًا أَصْحَابَ الْقَرْيَةِ إِذْ جَاءَهَا الْمُرْسَلُونَ
Dan buatlah bagi mereka suatu perumpamaan, yaitu penduduk suatu kampung ketika utusan-utusan datang kepada mereka;
Ternyata, penduduk kampung itu tak kunjung beriman. Lalu, ketika ada orang berikutnya yang mengingatkan penduduk kampung itu, Allah menggunakan kata kota. Allah berfirman,
وَجَاءَ مِنْ أَقْصَى الْمَدِينَةِ رَجُلٌ يَسْعَىٰ قَالَ يَا قَوْمِ اتَّبِعُوا الْمُرْسَلِينَ (20)
Dan datanglah dari ujung kota, seorang laki-laki dengan bergegas-gegas ia berkata, “Hai kaumku, ikutilah utusan-utusan itu, ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Pertanyaannya, mengapa Allah SWT mengganti kata “kampung” (قرية) menjadi “kota” (مدينة), padahal jika kita perhatikan, kedua peristiwanya terjadi berhampiran? Apakah “kampung” identik dengan kebodohan, lalu “kota” identik dengan kemajuan?