Oleh: Abdul Syakur Dj
Mengajarkan “agama” kepada anak sering kali kita pahami dengan mengajarkan Rukun Islam kepada mereka : mengajarkan shalat, melatih puasa, membiasakan zakat, dan menyuntikkan keinginan berangkat ke tanah suci. Sedangkan Rukun Iman seolah dianggap sebagai sesuatu “taken for granted” jika Rukun Islam sudah dipahami dan dipraktikkan. Alhasil, pengajaran dan penanaman keimanan ini kerap dilakukan sambil lalu dan sebatas pelengkap dari pengajaran Rukun Islam.
Padahal dalam konstruksi ajaran Islam, Rukun Islam itu adalah bungkus (casing), dan Rukun Iman adalah isi/substansinya. Mestinya pengajaran Rukun Iman mendapatkan perhatian lebih besar daripada pengajaran Rukun Islam. Yang terjadi selama ini justru sebaliknya, yaitu pengajaran Rukun Islam mendapatkan porsi yang lebih besar. Ini bisa dipahami karena mengajarkan Rukun Iman itu jauh lebih sulit daripada mengajarkan Rukun Islam. Karena subjeknya berkaitan dengan sesuatu yang tak terindra dan tak terukur. Sedangkan subjek dalam Rukun Islam lebih terukur dan kasat mata. Misalnya, pengajaran tentang shalat dianggap berhasil jika yang diajarkan bisa melakukannya secara tertib sesuai ketentuan fiqih. Apakah shalatnya khusu’? Atau saat shalat ada pengakuan bahwa Allah adalah Ilah, Rabb, dan Malik bagi seluruh makhluk? Itu semua berada di luar lingkup penilaian keberhasilan pengajaran Rukun Islam.
Ala kulli hal, harus diakui ada yang terluput dan terabaikan dalam pendidikan agama yang kita terapkan selama ini. Di mana penjelasan tentang Rukun Iman tidak mendapatkan porsi yang semestinya. Sehingga jangan heran jika banyak paradoks yang kita jumpai, di satu sisi taat menjalankan Rukun Islam, tapi di sisi lain masih melakukan hal-hal yang dilarang, seperti korupsi, atau akhlaknya tidak islami, seperti hubungan dengan tetangga kurang baik, sering bersikap dan berkata kasar kepada orang lain, dsb.
Sudah waktunya kita memberikan porsi Rukun Iman yang lebih besar dalam pendidikan agama yang diajarkan. Kemahakuasaan dan Kemahakayaan Allah harus dielaborasi dalam keseharian kehidupan. Malaikat itu bukan sosok yang hanya ada dalam dongeng dan cerita, tapi dia ada dan terlibat dalam kehidupan manusia, dan seterusnya. Wallahu a’lam.