Pembaca pasti sudah mendengar Paytren, sebuah bisnis multi level marketing (MLM) berbasis aplikasi milik Yusuf Mansur. Siapapun yang ingin menjadi anggota atau mitra Paytren harus menyetor uang sebesar Rp. 350.000 untuk paket basic dan Rp. 9.775.000 untuk paket titanium. Setelah menyetor, mitra mendapatkan akun Paytren dan berhak memperjualbelikan akun tersebut ke orang lain.
Selain harus memperjualbelikan akun supaya dapat untung, mitra Paytren menjual kebutuhan lain seperti pembayaran listrik, pulsa telepon seluler dan berbagai tagihan. Tetapi dari berbagai transaksi online tersebut, hasil dari menjual lisensi jauh lebih menguntungkan. Karena itu mitra Paytren lebih fokus menjual lisensi daripada menjual pulsa.
Persoalannya, mitra Paytren itu tidak mudah mencari mitra baru. Keuntungan yang didapat dari merekrut satu mitra pun tak seberapa, hanya Rp. 75.000 untuk pengguna paket basic. Jadi untuk mengembalikan modal sebesar RP 350.000 itu setiap mitra harus merekrut minimal lima orang. Bagaimana dengan pengguna paket titanium? Jika mitra pengguna paket titanium mampu merekrut delapan anggota baru maka dia baru mendapat penghasilan sebesar Rp. 900.000. Lalu untuk mengembalikan modal yang Rp. 9.775.000 itu, berapa orang yang harus direkrut?
Lalu, mungkin pembaca bertanya, mengapa masih ada yang tertarik bergabung dengan Paytren? Dalam memasarkan Paytren Yusuf Mansur sangat cerdik. Dia tidak menjual sebagai bisnis semata tapi juga dikaitkan dengan ibadah. Sebuah video yang ramai di medsos menampilkan Yusuf Mansur berceramah dan mengatakan, ikut Paytren masuk surga, adalah salah satu contoh. Itu pula sebabnya mengapa Yusuf Mansur menyebut Paytren sebagai bisnis syariah.
Padahal bisnis ya bisnis, penipuan ya tetap penipuan. Paytren memang layak disebut penipuan. Mengapa? Karena dengan status sebagai ustadz, Yusuf Mansur menjanjikan berbagai reward kepada calon korban agar mau menyetor uang, seperti cepat menjadi kaya raya, mendapat mobil, mendapat rumah, jalan-jalan ke luar negeri dan umroh gratis, mendapat pinjamana tanpa agunan, hingga masuk surga. Padahal jika dipikir secara akal sehat, para mitra sanagat sulit untuk mendapat satu mitra pun, apalagi untuk sampai menutupi modal yang digunakannya saat membeli paket titanium.
Masyarakat kita juga masih mudah tertipu dengan dalih agama. Mereka mudah terbuai dengan apa yang disampaikan oleh orang yang memakai pakaian Islami, apalagi dengan orang yang fasih menyebut dalil agama. Orang juga gampang tertipu dengan mereka yang menampakkan keshalehan di muka umum, apalagi dilabeli dengan predikat ustadz kondang seperti Yusuf Mansur.
Keadaan di atas masih ditambah dengan sifat ingin cepat kaya dan keinginan dapatkan materi tanpa lalui kerja keras dan proses panjang, membuat mereka tergiur dengan propaganda Yusuf Mansur. Cobalah amati kelompok masyrakat yang menjadi mitra Paytren, hampir semuanya terbuai mimpi oleh motivasi-motivasi cepat kaya.
Fakta di lapangan hampir semua peredaran transaksi Paytren adalah penjualan aplikasi/lisensi. Bukan penggunaan layanan aplikasi. Disinilah dampak dan efek negatif dari bisnis sistim MLM. Seseorang karena tergiur bonus, dia akan berusaha mati-matian menggaet orang lain untuk mmbeli, dan terus mensuport orang lain untuk menjadi pembeli di bawahnya, yang biasanya dibumbui intrik tidak fair, bahkan kadang bohong. Dan pada saat dia jenuh, dia akan jatuh karena dia kadung meninggalkan pekerjaan yang dulu sudah mapan sekalipun untuk keuntungan yang sedikit.
Kita harus sadar, sekaliber bisnis yang mengurusi perjalanan ibadah orang ke Tanah Suci saja harus berurusan dengan hukum, apalagi dalam urusan usaha Yusuf Mansur yang murni urusan bisnis? Bukan tidak mungkin Paytren bakal menjadi (kasus) First Travel jilid 2.
Perdayakan MUI dan Para Ustadz
Yusuf Mansur tidak hanya bisa perdayakan kelompok orang awam di atas, tapi Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga mampu diperdaya. Betapa tidak, hanya karena Paytren MUI mau melanggar fatwanya sendiri. Ketentuan hukum Dewan Syariah Nasional (MUI) MUI tentang Penjualan Langsung Berjenjang Syariah (PLBS) yang tertuang dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional No : 75/DSN MUI/VII/2009 dikangkangi secara terang-terangan oleh MUI sendiri.
Ada beberapa point dalam fatwa tersebut yang sangat jelas menyentuh bisnis Paytren. Sebut saja, Ketentuan Hukum nomor 3 : Transaksi dalam perdagangan tersebut tidak mengandung unsur gharar, maysir, riba, dharar, dzulm, maksiat. Ketentuan Hukum nomor 4 : Tidak ada harga/biaya yang berlebihan (excessive markup), sehingga merugikan konsumen karena tidak sepadan dengan kualitas/manfaat yang diperoleh. Ketentuan Hukum nomor 5 : Komisi yang diberikan oleh perusahaan kepada anggota baik besaran maupun bentuknya harus berdasarkan pada prestasi kerja nyata yang terkait langsung dengan volume atau nilai hasil penjualan barang atau produk jasa, dan harus menjadi pendapatan utama mitra usaha dalam PLBS. Ketentuan Hukum nomor 7 : Tidak boleh ada komisi atau bonus secara pasif yang diperoleh secara reguler tanpa melakukan pembinaan dan atau penjualan barang dan atau jasa. Dan Ketentuan Hukum nomor 12 : cialis for sale no prescription. Tidak melakukan kegiatan money game.
Dalam Sertifikat Syariah yang dikeluarkan MUI untuk Paytren itu disebutkan bahwa produk Paytren adalah layanan pembayaran multiguna. Layanan artinya jasa, pekerjaan yang diberikan kepada orang lain yang membutuhkan. Tapi apa yang sebenarnya dijual Paytren? Tak lain adalah aplikasi, software dan lisensi kemitraan. Harga pulsa mereka sama sekali tidak bersaing untuk dapat menjaring orang melakukan pembayaran melalui mitra Paytren. Di lapangan yang terjadi, member Paytren hanya menjual aplikasi dan lisensi.
Mengapa MUI memberikan Sertifikat Halal untuk produk Paytren yang tidak banyak dijual, sementara produk lain yang justru lebih banyak dijual telah jelas-jelas melanggar fatwa DSN MUI? Perlu dicatat bahwa beberapa hari sebelum keluarnya Sertifikat Halal tersebut, situs resmi Paytren menghilangkan skema marketing plan yang sangat kental mencirikan money game. Petinggi Paytren waktu itu mengatakan sertifikat diperoleh Paytren karena adanya perubahan marketing plan tersebut. Kalaupun itu benar, apakah pantas DSN MUI memberikan label syariah kepada bisnis yang baru berubah? Apalagi terbukti tidak ada perubahan apa-apa di lapangan?
Sudah lebih dari satu tahun Paguyuban Santri Nusantara (PSN) meminta MUI berdialog guna sampaikan keharaman Paytren, namun MUI belum juga memberi jawaban. Ini membuktikan bahwa MUI sendiri gamang dalam soal halal-haram Paytren ini. Atau mungkin juga karena ada Factor X yang membuat MUI enggan berdialog dengan PSN.
Setelah MUI diperdayakan, para ustadz kondang pun ikut terpedaya dengan Yusuf Mansur dan Paytren-nya. Semua menjadi korban kebohongan Yusuf Mansur. Ustadz sekelas Haekal Hasan sampai mempromosikan Paytren itu halal. Sebelumnya anaknya Jokowi, Kaesang juga mempromosikan Paytren. Ustadz Abdul Shomad juga menyatakan kalau Paytren sudah berlabel halal jadi boleh diikuti. Aa Gym juga membolehkan memilih Paytren untuk kemaslahatan umat. Habib Luthfi bahkan memuji Yusuf Mansur sebagai ulama yang kaya dan sukses dengan satu juta pengikut. Apalagi KH. Ma’ruf Amin mengatakan Yusuf Mansur sebagai contoh ustadz yang bisnisnya berhasil.
Para ustadz ini diyakini tidak mengetahui bisnis Paytren itu dengan sebenarnya. Mereka hanya mengetahui Paytren dari mulut Yusuf Mansur, mereka tidak melihat keadaan yang sebenarnya di lapangan. Mereka juga lupa dengan konsep dan skema sedekah yang dibangun Yusuf Mansur yang jelas bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Para ustadz di atas diyakini tidak membaca hasil penelitian yang dilakukan oleh Ustadz Ammi Nur Baits, Lulusan S-1, Jurusan Fikih dan Ushul Fikih, Madinah International University. Paparan ustadz ini tentang Paytren disampaikan secara lengkap dan pada kesimpulannya mengatakan bahwa Paytren adalah gharar atau perjudian dan itu haram hukumnya.
Ada juga Ustadz Erwandi Tarmizi, S2 jurusan Ushul Fiqh, Fakultas Syari’ah, Universitas Islam Al Imam Muhammad bin Saud dan S3 jurusan Ushul fiqh, Fakultas Syari’ah, Universitas Islam Al Imam Muhammad bin Saud. Dengan tegas Ustadz Erwandi Tarmizi mengatakan bahwa Paytren, selain riba adalah haram. Orang membeli produk yang dimahalkan bukan karena produknya, tetapi karena janji pendapatan yang besar yang belum tentu menjadi kenyataan. Penjelasan Ustadz Erwandi tentang Paytren sudah disebarkan dalam berbagai media dan forum diskusi.
Begitulah bisinis-bisnis Yusuf Mansur. Tengoklah bisnis-bisnis yang pernah dibangunnya, selalu berakhir dengan kegagalan dan kekecewaan banyak pihak, bahkan tidak sedikit yang berkahir di meja polisi. MUI dan para ustad itu tidak melihat ini sebagai pembelajaran.