Pertanyaan.
thayyibah.com :: Saya sering melakukan puasa sunnah pada hari Senin dan Kamis. Suatu hari, pada saat saya sedang puasa sunat, istri mengajak melakukan hubungan suami istri. Yang kami tanyakan, apakah hukum perbuatan kami ini ? Apakah yang kami lakukan ini termasuk dosa besar ? Jazâkumullâh khairan
Jawaban.
Barangsiapa yang telah berniat melakukan puasa sunnah, maka sebaiknya ia menyempurnakan puasanya. Tetapi, ia juga boleh membatalkan puasa sunnah. Sebab dalam masalah puasa sunnah, pelaku bisa mengatur dirinya. Berdasarkan dalil di bawah ini:
عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ قَالَتْ: دَخَلَ عَلَىَّ النَّبِىُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ « هَلْ عِنْدَكُمْ شَىْءٌ ». فَقُلْنَا لاَ. قَالَ « فَإِنِّى إِذًا صَائِمٌ ». ثُمَّ أَتَانَا يَوْمًا آخَرَ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أُهْدِىَ لَنَا حَيْسٌ. فَقَالَ « أَرِينِيهِ فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا ». فَأَكَلَ
“Aisyah berkata : Rasulullah bertanya kepadaku : “Apakah kamu memiliki sesuatu (makanan) ? Aku menjawab : “Tidak ada apa-apa”. Beliau bersabda : “Kalau begitu aku akan melanjutkan puasaku”, lalu beliau keluar. Kemudian kami diberi hadiah, atau seseorang berziarah kepadaku (dengan membawa hadiah). Tatkala Rasulullah pulang, aku berkata : “Wahai Rasulullah, kami diberi hadiah atau ada seseorang yang berziarah kepadaku, dan aku telah menyisakan buatmu”. Kemudian beliau bertanya : “Apa itu?” Aku berkata : “Haisun (sejenis makanan dari kurma, minyak samin dan tepung)” Beliau berkata: “Bawalah kemari”, lalu aku menghidangkannya. Kemudian Beliau memakannya dan berkata : “Sungguh aku tadi telah berniat untuk puasa”. [HR Muslim]
Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Bagi Imam Syâfi’i rahimahullah dan para ‘Ulama yang sependapat dengannya, dalam riwayat yang kedua terdapat dalil yang jelas, bahwa puasa nâfilah (sunat) boleh dibatalkan, dan makan di tengah-tengah hari dan batal puasanya karena ia adalah nâfilah. Puasa nâfilah ada pada pilihan manusia, baik waktu memulai atau diteruskan atau tidak. Ini adalah merupakan pendapat kebanyakan para Sahabat, Imam Ahmad, Ishâk dan yang lainnya. Hanya saja, mereka sepakat bahwa menyempurnakan puasa sunat adalah disunnahkan”. [Syarah shahîh muslim, 4/291]
Pendapat ini pun diperkuat oleh hadits Abu Juhaifah : Tentang kisah Salmân dan Abu Darda Radhiyallahu anhuma : Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan Salmân dan Abu Darda Radhiyallahu anhuma . Maka Salmân Radhiyallahu anhu membuat makanan buat Abu Darda Radhiyallahu anhu, kemudian ia berkata kepada Abu Darda Radhiyallahu anhu : “Makanlah” ! ia berkata: “Aku sedang puasa” Salmân Radhiyallahu anhu berkata: “Aku tidak akan makan sehingga kamu makan” lalu Abu Darda Radhiyallahu anhu makan. Salmân Radhiyallahu anhu berkata kepada Abu Darda Radhiyallahu anhu : “Sesungguhnya bagi rabb-Mu memiliki hak atasmu dan jiwamu memiliki hak atasmu, juga keluargamu mimiliki atasmu ada hak. Maka, berikan setiap hak kepada memiliki hak.” Lalu Abu Darda Radhiyallahu anhu datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau berkata kepadanya: “Benar ucapan Salmân. [HR Bukhâri, no. 1967]
Dalam hadits ini disebutkan bahwa Abu Darda Radhiyallahu anhu berbuka setelah ia meniatkan puasa dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkannya untuk mengqadha puasanya.
Demikian juga dikuatkan oleh hadits :
عَنْ جَابِرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إِلَى طَعَامٍ فَلْيُجِبْ فَإِنْ شَاءَ طَعِمَ وَإِنْ شَاءَ تَرَكَ
“Jâbir bin ‘Abdillâh berkata, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apabila salah seorang di antara kamu diundang kepada suatu makanan (perjamuan), maka penuhilah undangannya. Apabila hendak memakannya maka makanlah, dan apabila tidak ingin maka tinggalkanlah“. [HR Muslim ,at-Timidzi, Ibnu Mâjah, Ahmad, al-Baihaqi]
Juga hadits.
عَنْ أُمِّ هَانِئٍ وَهِيَ جَدَّتُهُ : أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَيْهَا يَوْمَ الْفَتْحِ فَأُتِيَ بِإِناَءٍ فَشَرِبَ ثُمَّ ناَوَلَنِيْ فَقُلْتُ إِنِّيْ صَائِمَةٌ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُتَطَوِّعُ أَمِيْرٌ نَفْسَهُ فَإِنْ شِئْتِ فَصُوْمِيْ وَإِنْ شِئْتِ فَأَفْطِرِيْ
“Dari Umi Hâni : Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam masuk kepadanya pada hari putuh Mekah, lalu didatangkan kepadanya air, lalu beliau meminumnya, kemudian Nabi memberikan kepadaku. Maka aku berkata: “Aku sedang puasa. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Orang yang puasa sunnah, maka ia adalah amir atas dirinya. Jika kamu mau puasa maka puasalah, dan apabila ingin buka maka bukalah“.[HR al-Hâkim, al-Baihaqi, an-Nasâi dan Ahmad. Hadit ini dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni]
Maka tidak berdosa apabila seorang sedang puasa sunnah, membatalkan puasanya karena istrinya mengajak jima` atau sebaliknya, berdasarkan dalil-dalil di atas.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi Edisi 06-07/Tahun XIII/1430H/2009M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196. Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]Artikel: https://almanhaj.or.id/9387-puasa-sunat-lalu-jima-2.html