Snouck yakin bahwa umat Islam akan berbahaya bagi pemerintah kolonial jika kebebasan dan kemerdekaan mereka beragama diganggu. Semakin dilarang untuk mengerjakan hal-hal yang berhubungan dengan ubudiyah, mereka semakin fanatik untuk mengerjakannya. Bahaya lebih besar akan mengancam pemerintah, bila umat Islam terus mengasingkan diri dari masyarakat biasa, lalu mendirikan perkumpulan-perkumpulan tarekat yang mengajarkan “perang sabil” (Jihad) yang mungkin tidak dapat diketahui secara cepat.
“Bahaya-bahaya yang diancamkan oleh Agama Islam pada setiap negara yang memerintah atas pemeluk-pemeluk Agama Islam itu, sudah Yang Mulia ketahui, maka tidak perlu lagi diadakan ikhtisar atas ulasan saya mengenai hal itu yang sudah sejak bertahun-tahun setiap kali diulang-ulang. Dalam tahun-tahun terakhir pengaruhpengaruh yang merusak itu di atas segala-galanya bekerja dengan jalan menggunakan tarekat-tarekat yang semakin bertambah kuat dan luas, yang di Afrika Barat dan Tengah telah menyusun dakwah teratur untuk menghidupkan cita-cita politik dan religius bagi Islam, sedangkan yang religius itu terutama juga dijalankan di Hindia Timur. Perang Jihad yang dahulu diadakan negara-negara Mohammadan telah diganti dengan tak kurang giatnya dengan perang Jihad yang diadakan oleh tarekat-tarekat yang dimaksud itu.”
Dalam hal ini Snouck merekomendasikan pada pemerintah Hindia Belanda agar mengusahakan supaya Islam hanya menjadi “Agama Masjid”. Artinya, sebagaimana agama kristen, Agama hanya dijadikan sarana ibadah kepada Tuhan semata, bukan untuk mengatur kehidupan manusia di dunia. Kebijakan ini diambil karena Snouck melihat, bahwa Islam merupakan suatu kekuatan yang membahayakan kelangsungan penjajahan Belanda atas wilayah Hindia Belanda.
Dalam bidang kemasyarakatan, pemerintah memanfaatkan Adat kebiasaan yang berlaku (local wisdom) dengan cara menggalakkan rakyat agar mendekati pemerintah Belanda. Pemerintah mempunyai tujuan untuk mempererat ikatan antara Negeri jajahan dengan negara penjajah melalui kebudayaan, di mana lapangan Pendidikan menjadi garapan utama. Dengan adanya asosiasi ini maka Indonesia bisa memanfaatkan kebudayaan Belanda tanpa mengabaikan kebudayaannya sendiri.
Dalam bidang politik, pemerintah Belanda harus tegas menolak setiap usaha yang akan membawa rakyat kepada fanatisme dan Pan Islamisme (penyatuan umat Islam seluruh dunia dalam bingkai khilafah). Unsur politik dalam Islam harus diwaspadai dan kalau perlu ditindak tegas. Berbagai pengaruh asing yang menjurus ke politik harus diwaspadai. Satu hal yang perlu diperhatikan dalam hal ini adalah menghindari segala tindakan yang berkesan menentang kebebasan beragama.
Islam adalah Agama universal yang meliputi hampir semua dimensi kehidupan manusia (kaffah). Pandangan ini meniscayakan bahwa tidak ada dimensi kehidupan yang luput atau tidak berada dalam spektrum ajaran Islam. Sehingga politik juga dipandang sebagai bagian dari praktik sosial yang harus diwarnai oleh ajaran-ajaran Agama dan dipraktikkan sesuai dengan tuntutan Islam. Politik adalah salah satu alat (instrumen) untuk memperjuangkan kepentingan umat Islam. Oleh karena itu dalam relasi Agama dan negara, politik merupakan kewajiban kifayah bagi umat Islam.
Pandangan yang demikian ini dicemaskan oleh Snouck Hurgronje yang ketika itu memandang keterlibatan umat Islam dalam politik merupakan tindakan yang berbahaya. Orang-orang Islam yang melakukan agitasi politik akan mengancam kemapanan kolonialisme (baca: penjajahan) yang telah sekian lama bercokol di Indonesia. Sehingga mencegah umat Islam terlibat dalam kegiatan politik merupakan langkah preventif untuk melidungi kekuasaan kolonial.
Berdasarkan data yang dikumpulkan Snouck, mereka yang terlibat dalam politik umumnya adalah para Haji yang mendapat pencerahan spiritual dan politik ketika bermukim di Timur Tengah. Setelah kembali ke tanah air para Haji itu bertarnsformasi menjadi individu yang revolusioner dan sering “merepotkan” pemerintah penjajahan. Snouck sering menunjuk kasus perlawanan di Sumatera Barat, Aceh dan Banten yang sering dipicu oleh aksi provokatif para Haji.
Referensi:
1. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, LP3ES Jakarta, cetakan pertama Februari 1985
2. Abuddin Nata, “Christiaan Snouck Hurgronje”, Ensiklopedi Islam jilid 6, editor bahasa , Nina M.Armando et.al., Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2005.
3. Saidin Ernas, Gagasan Snouck Hurgronje Tentang Islam Dan Implikasinya Terhadap Praktik Hukum Dan Politik Di Indonesia, Jabal Hikmah Vol.2 No.2, Juli 2011
4. Gobée Dan C. Adriaanse, Nasihat-nasihat C. Souck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Jakarta: INIS, 1990, Seri Khusus INIS Jilid I
5. Miftahul Jannah, Politih Hindia Belanda terhadap Umat Islam di Indonesia, Skripsi fakultas Adab dan Humainora, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya, 2014.
6. E. Gobée Dan C. Adriaanse, Nasihat-nasihat C. Souck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Jakarta: INIS, 1990, Seri Khusus INIS Jilid I. h.24