Ketika Rasulallah SAW berhijrah ke Madinah, beliau SAW mendapati orang-orang berpesta dalam dua hari. Rasulallah SAW bertanya, “Hari apa ini?” Para penduduk Madinah itu menjawab, “Kami dulu berpesta dalam dua hari ini”. Rasulallah SAW kemudian bersabda,
” قدْ أبدلَكم اللهُ تعالَى بِهِمَا خيرًا مِنْهُمَا يومَ الفطرِ ويومَ الأَضْحَى”
(Sungguh, Allah SWT telah mengganti dua hari itu dengan yang lebih baik dari padanya: Idul Fitri dan Idul Adha).
Sejak peristiwa itu, atau tepatnya pada tahun kedua hijriyah, umat Islam menunaikan shalat Idul Fitri di Madinah. Rasulallah SAW kemudian bertindak selaku imam dan khatib shalat.
Para ulama fiqh sebagai peletak madzhab (grand theory) seperti Imam Abu Hanifah dan Imam Syafii kemudian berbeda pendapat tentang tata cara menunaikan shalat Idul Fitri dan tempat paling afdhol untuk menunaikannya.
Dalam madzhab Syafii, shalat Idul Fitri sebaiknya ditunaikan di masjid. Tata cara sholatnya adalah dengan tujuh takbir di rakaat pertama (selain takbiratul ihram), dan lima takbir di rakaat kedua. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatlan oleh Imam Tirmidzi dan Ibn Majjah bahwa Nabi SAW bertakbir pada dua shalat ‘Id dengan tujuh takbir di rakaat pertama sebelum membaca (alfatehah) dan lima takbir di rakaat kedua (juga sebelum mebaca al-fatehah).
Tetapi, dalam madzhab Hanafi, shalat Idul Fitri sebaiknya ditunaikan di lapangan terbuka. Tata cara shalatnya adalah dengan tiga takbir di rakaat pertama (setelah takbiratul ihram) dan tiga takbir di rakaat kedua (setelah membaca al-fatehah dan surah lainnya).
Uniknya, cara bermadzhab kita (terutama masyarakat kota/perumahan) kini bergeser. Di kita yang semestinya bermadzhab Syafii, shalat Idul Fitri mulai banyak ditunaikan di lapangan terbuka. Sementara di negara bermadzhab Hanafi, shalat idul fitri sudah tak lagi di lapangan. Mereka shalat di masjid. Tentu saja masjid lebih bersih dan (di Saudi Arabia) umumnya ber-ac.
Saya teringat, sewaktu saya tahun pertama kuliah di Islamabad dan ikut menunaikan shalat Idul Fitri di salah satu masjid, saya salah menunaikannya. Kebiasaan di Indonesia, pada rakaat kedua, takbir diucapkan sebelum imam membaca al-fatihah. Di sana, karena bermadzhab Hanafi, takbir dilafalkan imam setelah membaca al-fatehah dan surah. Waktu itu, karena saya fikir tidak ada takbir di rakaat kedua, maka begitu imam bilang, “Allahu akbar…” saya langsung ruku’. Padahal seharusnya takbir sebab belum waktunya ruku’. Mungkin semasjid itu, saya sendirian yang salah. Oleh orang di sebelah saya, mungkin juga saya dikira mualaf. []
Inayatullah Hasyim
(Dosen FH Universitas Djuanda Bogor)