thayyibah.com :: Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Kita diperintahkan menjalankan syariat Islam secara kaffah, termasuk ketika di rumah dan di masyarakat. Berikut ini merupakan risalah tentang pembenahan rumah dan masyarakat agar berada di atas cahaya syariat, semoga risalah ini Allah jadikan ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma amin.
A. Bahaya masuknya kerabat suami yang bukan mahram ke dalam rumah istri yang suaminya sedang tidak ada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ قَالَ الْحَمْوُ الْمَوْتُ
“Hindarilah olehmu masuk menemui wanita!” Lalu salah seorang dari kaum Anshar berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana menurutmu dengan ipar?” Beliau menjawab, “Ipar adalah maut.” (HR. Bukhari dan Muslim)
لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلَّا كَانَ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ
“Tidaklah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita, kecuali yang ketiganya adalah setan.” (HR. Ahmad, Tirmidzi dan Hakim dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 2546)
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Maksud (hamwu/ipar) dalam hadis tersebut adalah kerabat suami selain bapak dan anak-anaknya, karena mereka adalah mahram bagi istri sehingga boleh bagi mereka berkhalwat dengan istrinya dan mereka tidaklah disifati dengan maut.” Ia juga berkata, “Yang dimaksud (dalam hadis tersebut) adalah saudara, putra saudara, paman, anak paman, putra saudari dan lainnya yang halal dinikahi jika ia belum menikah, dan biasanya hal ini diremehkan, sehingga seorang saudara ada yang berduaan dengan istri saudaranya, maka Beliau memiripkannya dengan maut, hal ini tentu lebih dilarang daripada ajnabi (yang bukan kerabat).” (Fathul Bari, 9:331)
Adapun kalimat “Ipar adalah maut” ada beberapa maksud, di antaranya:
Pertama, bahwa berkhalwat (berduaan) dengan ipar dapat membinasakan agama jika sampai terjadi maksiat.
Kedua, bisa membawa kepada kematian jika sampai terjadi perbuatan keji (zina) dan wajib dirajam.
Ketiga, bisa membawa kebinasaan bagi si istri karena suaminya akan berpisah dengannya apabila rasa cemburu membuatnya menceraikannya.
Keempat, bisa maksudnya, “Jauhilah berkhalwat kepada ajnabiyyah (wanita yang bukan mahram) sebagaimana kamu berhati-hati kepada kematian.
Kelima, bahwa berkhalwat dengan wanita yang bukan mahramnya itu dibenci sebagaimana kematian juga dibenci.
B. Hindari Ikhtilath (Bercampur Baur Antara Lawan Jenis)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. “ (QS: Al Ahzab: 53)
عَنْ أَبِي أُسَيْدٍ اْلأَنْصَارِيِّ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُوْلَ اللهِ – صلى الله عليه وسلم – يَقُوْلُ وَهُوَ خَارِجٌ مِنَ الْمَسْجِدِ فَاخْتَلَطَ الرِّجَالُ مَعَ النِّسَاءِ فِي الطَّرِيْقِ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ – صلى الله عليه وسلم – لِنِسَاءٍ: اِسْتَأْخِرْنَ فَإِنَّ لَيْسَ لَكُنَّ أَنْ تَحْقُقْنَ الطَّرِيْقَ عَلَيْكُنَّ بِحَافَّاتِ الطَّرِيْقِ فَكَانَتِ الْمَرْأَةُ تَلْتَصِقُ بِالْجِدَارِ حَتَّى إِنَّ ثَوْبَهَا لَيَتَعَلَّقُ بِالْجِدَارِ مِنْ لُصُوْقِهَا بِهِ
Dari Abu Usaid Al Anshariy bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika Beliau di luar masjid, di mana ketika itu kaum lelaki dan wanita bercampur baur di jalan, “Hendaklah kalian (wanita) memperlambat dalam berjalan, karena kalian tidak berhak melewati jalan tengah, kalian harus melewati pinggir jalan.” ketika itu kaum wanita ke dinding sehingga kainnya menggantung di dinding karena menempel.” (HR. Abu Dawud, dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Ash Shahiihah (856) dan al-Misykaat (4727)).
Ayat dan hadis di atas adalah salah satu di antara sekian dalil yang melarang ikhtilah dan memerintahkan agar menempuh jalan yang dapat menjauhkan dari terjadinya fitnah. Di antara dalil lainnya, adalah bahwa di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika melaksanakan shalat di masjid, maka kaum wanita ditempatkan oleh di belakang, sedangkan kaum lelaki di depan, Beliau juga menjelaskan bahwa sebaik-baik shaf bagi wanita adalah yang belakang, sedangkan shaf yang paling buruk adalah yang depan (yang lebih dekat dengan lelaki) (HR. Muslim). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga ketika selesai salam, maka Beliau diam sejenak agar kaum wanita berkesempatan keluar lebih dahulu dan tidak bersamaan dengan kaum lelaki (HR. Bukhari).
Ini semua merupakan dalil yang melarang ikhthilat (campur baur dan tidak dipisah) antara laki-laki dan wanita. Oleh karena itu, hendaknya tempat-tempat berkumpul seperti sekolah-sekolah, tempat walimah dan lainnya, memisahkan antara laki-laki dengan perempuan.
C. Hati-Hati Berduaan dengan Pembantu yang Bukan Mahram
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَزَيْدِ بْنِ خَالِدٍ قَالَاكُنَّا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ أَنْشُدُكَ اللَّهَ إِلَّا قَضَيْتَ بَيْنَنَا بِكِتَابِ اللَّهِ فَقَامَ خَصْمُهُ وَكَانَ أَفْقَهَ مِنْهُ فَقَالَ اقْضِ بَيْنَنَا بِكِتَابِ اللَّهِ وَأْذَنْ لِي قَالَ قُلْ قَالَ إِنَّ ابْنِي كَانَ عَسِيفًا عَلَى هَذَا فَزَنَى بِامْرَأَتِهِ فَافْتَدَيْتُ مِنْهُ بِمِائَةِ شَاةٍ وَخَادِمٍ ثُمَّ سَأَلْتُ رِجَالًا مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ فَأَخْبَرُونِي أَنَّ عَلَى ابْنِي جَلْدَ مِائَةٍ وَتَغْرِيبَ عَامٍ وَعَلَى امْرَأَتِهِ الرَّجْمَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَأَقْضِيَنَّ بَيْنَكُمَا بِكِتَابِ اللَّهِ جَلَّ ذِكْرُهُ الْمِائَةُ شَاةٍ وَالْخَادِمُ رَدٌّ عَلَيْكَ وَعَلَى ابْنِكَ جَلْدُ مِائَةٍ وَتَغْرِيبُ عَامٍ وَاغْدُ يَا أُنَيْسُ عَلَى امْرَأَةِ هَذَا فَإِنْ اعْتَرَفَتْ فَارْجُمْهَا فَغَدَا عَلَيْهَا فَاعْتَرَفَتْ فَرَجَمَهَا
Dari Abu Hurairah dan Zaid bin Khalid ia berkata, “Kami berada di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba seorang laki-laki berdiri dan berkata, “Saya bersumpah atas nama Allah kepadamu, putuskanlah perkara di antara kami dengan kitabullah.” Lantas berdirilah lawan sengketanya yang lebih faqih dari dia dan berkata, “Putuskanlah di antara kami dengan kitabullah, dan izinkanlah aku untuk bicara.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Bicaralah.” Lanjutnya, “Anakku menjadi pekerja laki-laki ini, kemudian anakku berzina dengan istrinya, maka aku menebusnya dengan seratus ekor kambing dan satu pembantu, kemudian aku bertanya kepada beberapa ahli ilmu, mereka mengabarkanku bahwa anakku harus didera seratus kali dan diasingkan selama setahun, sedang istrinya harus dirajam.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi Allah yang jiwaku di Tangan-Nya, aku akan memutuskan di antara kalian dengan kitab Allah yang agung sebutan-Nya. Seratus ekor onta dan pembantu dikembalikan kepadamu, anakmu dicambuk sebanyak seratus kali dan diasingkan selama setahun, dan pergilah Unais ke istri orang ini, jikau dia mengakuinya, maka rajamilah dia.” Unais akhirnya pergi menemui istri orang tersebut, dan dia mengakuinya, maka ia merajamnya.” (HR. Bukhari)
Kalau memang kita butuh sekali kepada pembantu, maka sebaiknya kita hadirkan sesuai kebutuhan, setelah selesai ia kembali dan tidak memberikan kesempatan kepadanya untuk berkhalwat dengan istri kita.
D. Hindari Berjabat Tangan dengan Wanita yang Bukan Mahram
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ
“Sungguh, ditusuknya kepala salah seorang di antara kamu dengan jarum besi itu lebih baik baginya daripada ia menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR. Thabrani dari Ma’qil bin Yasar, dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 5045)
Syaikh Ibnu Baz berkata, “Tidak boleh berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram secara mutlak, baik wanita itu masih muda atau sudah tua, dan sama saja baik yang menjabat tangan itu pemuda atau orang tua, karena di dalamnya terdapat bahaya fitnah bagi masing-masingnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan kaum wanita.” Aisyah juga berkata, ”Tangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menyentuh tangan seorang wanita pun. Beliau tidaklah membai’at mereka kecuali dengan ucapan.” Dan tidak ada bedanya, baik berjabat tangannya pakai penghalang maupun tidak karena keumuman dalil dan untuk menjaga jalan yang mengarah kepada fitnah, wallahu waliyyut taufiq.” (Fatawa an-Nazhar wal Khalwah walIkhthilat hal. 81-82)
E. Perintah Mengeluarkan Orang yang Banci dari Rumah
Banci atau dalam bahasa Arab disebut mukhannits artinya orang yang menyerupai wanita baik dalam tingkah lakunya, geraknya, gayabicara, dsb. Jika tabiat asalnya seperti itu, maka ia tidak dicela tetapi ia wajib berusaha semampunya merubah sifat tersebut.
Tetapi jika ia sengaja meniru wanita, maka ia telah berdosa besar karena akan mendapat laknat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ لَعَنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُخَنَّثِينَ مِنْ الرِّجَالِ وَالْمُتَرَجِّلَاتِ مِنْ النِّسَاءِ وَقَالَ أَخْرِجُوهُمْ مِنْ بُيُوتِكُمْ قَالَ فَأَخْرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فُلَانًا وَأَخْرَجَ عُمَرُ فُلَانًا
Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang bertingkah laku seperti perempuan dan wanita yang bertingkah laku seperti laki-laki. Beliau bersabda, “Keluarkanlah mereka dari rumahmu.” Ibnu Abbas berkata, “Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengeluarkan si fulan, dan Umar juga mengeluarkan si fulan.” (HR. Bukhari)
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ عِنْدَهَا وَفِي الْبَيْتِ مُخَنَّثٌ فَقَالَ الْمُخَنَّثُ لِأَخِي أُمِّ سَلَمَةَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي أُمَيَّةَ إِنْ فَتَحَ اللَّهُ لَكُمْ الطَّائِفَ غَدًا أَدُلُّكَ عَلَى بِنْتِ غَيْلَانَ فَإِنَّهَا تُقْبِلُ بِأَرْبَعٍ وَتُدْبِرُ بِثَمَانٍ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَدْخُلَنَّ هَذَا عَلَيْكُنَّ
Dari Ummu Salamah radhiallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berada di dekatnya, ketika itu di rumah ada seorang banci. Banci itu berkata kepada saudara Ummu Salamah, yaitu Abdullah bin Abi Umayyah, “Jika besok Allah memberikan kemenangan kepadamu terhadap Thaif, maukah kamu aku tunjukkan puteri Ghailan, karena ia menghadap dengan empat anggota badannya dan membelakangi dengan delapan anggota badannya.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah sekali-kali orang ini masuk ke rumah kamu.” (HR. Bukhari)
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui bahwa ternyata banci membawa mafsadat, yaitu bisa menyifati fisik wanita dan hal ini dapat membuat fitnah lelaki, maka mulai saat itu Beliau tidak mengizinkan banci masuk rumah.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُتِيَ بِمُخَنَّثٍ قَدْ خَضَّبَ يَدَيْهِ وَرِجْلَيْهِ بِالْحِنَّاءِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا بَالُ هَذَا فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ يَتَشَبَّهُ بِالنِّسَاءِ فَأَمَرَ بِهِ فَنُفِيَ إِلَى النَّقِيعِ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَا نَقْتُلُهُ فَقَالَ إِنِّي نُهِيتُ عَنْ قَتْلِ الْمُصَلِّينَ
Dari Abu Hurairah, bahwa ada seorang banci yang dihadapkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dimana ia telah mewarnai (kuku) kedua tangan dan kakinya dengan inai. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada apa dengan orang ini?” Maka dikatakan, “Wahai Rasulullah, ia menyerupai wanita.” Maka Beliau memerintahkan agar orang tersebut dibawa dan diasingkan ke Naqi’ (pinggiran Madinah). Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah kita membunuhnya saja?” Beliau bersabda, “Sesungguhnya aku dilarang membunuh orang-orang yang shalat.” (HR. Abu Dawud dan lainnya, lihat shahihul Jami’ no. 2502)
F. Wajibnya menyingkirkan syi’ar orang-orang kafir dan sesembahan mereka (seperti salib, patung, gambar buatan yang menggambarkan Nabi Isa dan ibunya, dsb.)
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَكُنْ يَتْرُكُ فِي بَيْتِهِ شَيْئًا فِيهِ تَصَالِيبُ إِلَّا نَقَضَهُ
Dari Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah membiarkan di rumahnya ada sesuatu yang berbentuk salib, kecuali Beliau mematahkannya.” (HR. Bukhari)
G. Larangan memelihara anjing
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ اتَّخَذَ كَلْبًا إِلَّا كَلْبَ مَاشِيَةٍ أَوْ صَيْدٍ أَوْ زَرْعٍ انْتَقَصَ مِنْ أَجْرِهِ كُلَّ يَوْمٍ قِيرَاطٌ
Dari Abu Hurairah ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang memelihara anjing, selain anjing untuk menjaga ternak, untuk berburu atau untuk menjaga tanaman, maka akan berkurang pahalanya sehari satu qirath (ukuran tertentu di sisi Allah).” (HR. Muslim. Dalam salah satu riwayat disebutkan, “Dua qirath.”)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Munajjid dalam bukunya Akhthar tuhaddidul Buyut hal. 38 berkata, “Larangan memelihara anjing dikecualikan bagi anjing yang menjaga tanaman, anjing untuk berburu, dan anjing penjagaan.” Ia juga berkata, “Demikian pula (dibolehkan) anjing yang diperlukan seperti untuk melacak jejak para pelaku kriminal, mencium obat-obat terlarang, dan semisalnya sebagaimana disimpulkan dari pendapat sebagian Ahli ilmu.”
Bersambung…
Oleh: Ustadz Marwan bin Musa
Read more https://konsultasisyariah.com/14109-memperbaiki-lingkungan-keluarga-dan-masyarakat-bagian-1.html