Oleh : Iramawati Oemar
Ada yang menarik ketika Pemprov DKI memastikan bahwa semua usaha hiburan yang dikelola satu manajemen dengan Alexis sudah benar-benar tutup. Menariknya karena tidak ada penggunaan kekuatan fisik, tidak ada pengerahan aparat bersenjata, bahkan Satpol PP membawa pentungan pun tidak ada. Yang hadir justru 30 perempuan, ibu-ibu cantik yang sebagian diantaranya mengenakan jilbab.
Merekalah yang ditugasi Gubernur Anies Baswedan untuk memastikan Alexis sudah tutup, sembari menempel pengumuman dan memasang banner/spanduk.
Fenomena menarik di era good-bener ini diangkat oleh TV One dalam segmen acara Apa Kabar Indonesia (AKI) Pagi, edisi Sabtu, 31 Maret 2018.
3 perempuan cantik dihadirkan sebagai nara sumber, mereka : Ibu Henny, Ibu Lely Tambunan dan Ibu Ellen (mohon maaf kalau ada kesalahan penulisan nama).
Mereka mengaku sebelumnya sama sekali tidak tahu mengenai rencana penugasan mereka ke Alexis. Kamis pagi itu mereka hanya diminta berlatih di Monas, dalam rangka persiapan untuk HUT Satpol PP. Seusai dari Monas mereka dibawa ke Balaikota. Sekitar jam 10an pagi itu juga mereka baru diberi tahu oleh Ka. Satpol PP mengenai perintah Gubernur untuk memastikan penutupan Alexis. Tentu mereka kaget. Jam 14.30 Gubernur Anies Baswedan melepas 30 orang Satpol PP perempuan. Bahkan Ka. Satpol PP pun semula tidak tahu apa alasan Pak Anies menugaskan para ibu ke Alexis.
Anies berpesan agar mereka menghindari konflik, mereka harus bisa menunjukkan bahwa penegakan aturan tidak harus dengan cara-cara kekerasan. Penegakan aturan cukup dengan ketegasan dan kewibawaan.
***
Ternyata sampai di Alexis mereka “disambut” dengan barikade laki-laki berbadan besar yang membentuk pagar betis, mencegah Satpol PP masuk ke area Alexis. Para petugas Satpol PP perempuan yang sama sekali tidak memiliki persiapan khusus itu tidak menyangka jika mereka akan dihadapi pihak Alexis dengan mengerahkan 20an security-nya plus karyawan yang berdemonstrasi.
Demo karyawan ini juga tidak diduga sebelumnya. Mbak-mbak dan Mas-mas Alexis ini yang meneriaki ibu-ibu Satpol PP dengan cemoohan. Ada yang meneriakkan “huuu…, huuu…!!!” bahkan ada pula yang berteriak-teriak “Jangan kasih masuk!! Jangan kasih masuk!!”
Maka, tak ayal beberapa Satpol PP perempuan itu sedikit terpancing emosi dan kesal. Namun inilah uniknya barisan ibu-ibu, jika ada yang emosi, yang lain menenangkan.
Meski demikian sempat terjadi saling dorong antara ibu-ibu Satpol PP dengan para security Alexis. Secara keseluruhan, jumlah personil pihak Alexis yang mencoba menghalangi kaum Ibu itu untuk masuk, jumlahnya lebih banyak ketimbang petugas Satpol PP yang hanya 30 orang saja.
Dengan berbagai alasan mereka dilarang masuk, awalnya. Namun para ibu itu tetap gigih menjalankan tugas. Karena perintah Pak Gubernur mereka harus MEMASTIKAN seluruh unit usaha Alexis sudah tidak beroperasi (selain menempel pengumuman), maka mereka pantang pulang sebelum bisa memastikan.
Alasan pihak Alexis karena listrik sudah dimatikan sehingga tak ada lagi lift. Kaum ibu itupun nekad mau naik tangga biasa.
Akhirnya diijinkan 2 orang saja yang boleh masuk, didampingi 7 petugas security Alexis plus 1 orang polisi. Jadi 2 ibu dan 8 bapak itu pun naik tangga dari lantai 1 sampai lantai 8.
Kedua ibu itu Bu Henny dan Bu Lely.
Petugas Satpol PP lainnya memasang sticker dan banner.
Finally, mission accomplished!
Kaum Ibu “perkasa” itu sudah menunaikan perintah Pak Gubernur dengan baik. Benar kata Pak Anies, menegakkan aturan tidak harus dengan kekerasan. Tunjukkan bahwa mereka bisa mengawal Perda dengan ketegasan dan kewibawaan.
Ini cuplikan pidato konperensi pers Gubernur Anies Baswedan:
“Ini yang ingin saya tegaskan, kami tidak kirim pasukan. Kami kirim secarik kertas. karena itu saya tegas sekali, kami kirim selembar kertas keputusan. bahwa TDUP saudara dicabut. Titik, taati itu. Karena wewenang itu ada pada surat tadi. Ini bukan organisasi yang memakai kekuatan fisik.”
Loud n clear! No negotiation anymore!
Saya jadi ingat jelang Pilgub DKI banyak yang menyebarkan keraguan akan sosok Anies, mampukah dia mengatasi Jakarta.
Jakarta tidak bisa dihadapi dengan kalem, Jakarta harus dihadapi dengan ketegasan, blablabla…
Intinya : Anies tak akan bisa!
Kini, TERBUKTI bahwa KETEGASAN itu sama sekali TIDAK IDENTIK dengan suara keras, intonasi meledak-ledak, mata melotot nyaris keluar, jari telunjuk menuding sana sini, tangan menggebrak meja, sumpah serapah bertebaran, caci maki dengan kata-kata kasar dan kotor boros dilontarkan.
Menegakkan aturan juga tidak harus mengerahkan ratusan Satpol PP yang siap head to head secara fisik, dikawal ratusan polisi, bahkan melibatkan TNI.
Anies Baswedan membuktikan itu semua hanya “mitos” karena selama hampir 3 tahun sebelumnya fenomena galak, garang dan kasar itulah yang dipertontonkan kepada masyarakat. Seolah DKI tidak bisa diatur dengan cara-cara yang lebih manusiawi dan bersahabat.
Alhamdulillah…, Anies dan Sandi menunjukkan bahwa mereka membawa perubahan bagi Jakarta, dengan senyum mereka.
***
Ide menurunkan “pasukan” emak-emak memang ide Pak Anies. Tentu Anies sudah mengkalkulasi resiko dan dampaknya.
Satu hal yang sebelumnya tidak dipikirkan orang lain: memanfaatkan kekuatan dari karakter kaum Ibu.
Inilah pemberdayaan peran perempuan yang sebenarnya.
Mereka ditugaskan untuk memberantas ketidakbenaran, mendisiplinkan yang melanggar aturan, memastikan semua patuh, dan itulah memang yang lekat dengan dunia kaum Ibu.
Mereka gigih dan tangguh, sebelum tujuan tercapai, pantang mundur!
Ibu-ibu bisa lembut membujuk agar anak mereka mau mematuhi perintahnya. Tapi Ibu-ibu juga bisa tegas bertindak jika perintahnya dilanggar.
Pokoknya jangan melawan emak-emak deh, kelar hidup lo!
Kemenangan Anies dan Sandi pada putaran kedua tak luput dari peran emak-emak. Pasca insiden Iwan Bopeng saat Pilgub putaran pertama dan hadirnya seorang ibu berbaju kotak-kotak plus kerudung merah yang masuk TPS sambil berusaha mempengaruhi pemilih dengan terus mengacung-acungkan 2 jari, maka kubu pendukung Anies-Sandi sadar bahwa memenangkan jagoan mereka tak cukup hanya dengan memobilisir anggota keluarga untuk mencoblos. Lebih dari itu, mengawal TPS agar proses pencoblosan bisa berlangsung LUBER (langsung, umum, bebas dan rahasia), tidak disusupi pemilih abal-abal yang hanya bermodal eKTP padahal bukan warga setempat, adalah hal yang tak kalah penting.
Menjaga kotak suara hingga proses penghitungan suara selesai dan dibuat laporannya, adalah juga hal yang amat vital untuk dikawal.
Kedua hal itulah yang banyak dilakukan kaum Ibu, “menjaga” TPS dan “mengawal” penghitungan suara, hingga tak tersisa ruang untuk pelaku kecurangan.
Dan benarlah, Pilgub putaran kedua tidak banyak laporan tentang banyaknya pemilih siluman. Hasil penghitungan suara pun tak bisa dimanipulasi, karena emak-emak langsung memotret papan perhitungan di TPS dan mengunggahnya di akun medsos mereka. Mau curang??! Hadapi emak-emak dulu!
Tepat pada hari kemenangan Anies-Sandi, dalam pidatonya di kantor DPP Gerindra, Pak Prabowo tak lupa mengucapkan terima kasih kepada kaum Ibu yang telah mengawal Pilgub putaran kedua. Tanpa kekerasan dan ancaman ala Iwan Bopeng.
Begitu pula dalam sambutannya saat peringatan HUT Gerindra, pak Prabowo juga mengungkapkan rasa terima kasihnya pada emak-emak.
Memang ini eranya emak-emak cerdas dan peduli masa depan bangsa ikut berkontribusi.
Menjaga masa depan bangsa sama dengan menjaga pusaka nenek moyang untuk diwariskan kepada anak-cucu kelak. Jangan pernah ragu komitmen emak-emak soal ini.
Ini eranya emak-emak, bro!
Makanya, jangan pernah bikin susah emak-emak dengan kenaikan harga. Bisa kelar urusan lo!
Dan jangan sekali-kali mendzolimi emak-emak, apalagi mengkriminalisasi emak-emak, bisa habis dukungan dari mereka.
Bravo emak-emak!