Dua puluh tahun kemudian, atau lima belas tahun, atau malah baru sepuluh dan lima tahun; ketika kondisi keuangan membaik. Si pemuda culun yang sederhana dulu berubah menjadi lelaki yang gagah dan berkharisma. Keuangan membaik dengan status mapan dan kedudukan terhormat; suami dengan istri dan sekian anak, rumah disini, kendaraan ini.
Ketika hasratnya untuk memiliki istri kedua muncul, biasanya ia tidak lagi memilih seperti istri pertama yang apa adanya. Setidaknya yang kedua hadir disaat posisinya mapan, maka ya, haruslah perempuan yang lumayan. Lumayan parasnya. Lumayan pendidikan dan keuangannya. Perkara istri pertama sakit hati dan anak-anak tak mengerti dengan pilihan sang kepala keluarga; itu urusan kesekian.
Membenci syariat?
Jika perempuan menolak poligami, jangan serta merta mengatakannya; nggak mau patuh ya sama perintah Allah? Nggak mau taat syariat ya? Mau menolak isi Quran?
Maka, meski hati patah dan sakit luarbiasa, pilihan poligami terpaksa dijalankan. Apapun konsekuensinya. Kalau nanti istri pertama sakit-sakitan, dikira tidak ikhlas. Kalaupun menerima dengan hati lapang, sepanjang jalan pernikahan pastilah akan tumbuh beragam persoalan yang kadang-kadang, tertuding lagi perempuan. Ini gara-gara istri pertama gak mau mengalah. Ini gara-gara istri kedua ngelunjak.
Lelaki adalah Qowwam
Lelaki adalah peimpin bagi dirinya, istri, anak-anaknya. Keluarganya. Ummatnya. Pernikahan haruslah membangun mahligai yang sakinah mawaddah warrahmah. Seharusnya, lelaki yang memiliki logika lebih dari perempuan memprediksi apa yang akan terjadi ke depan.
Menikahi istri kedua berusia 25 tahun saat istri pertama 45 tahun, apa dampaknya? Bila istri pertama merelakan, apa yang harus disiapkan suami? Apa kesepakatan yang harus ditegakkan antara istri pertama dan kedua? Bagaimana tentang maisyah? Bila istri kedua memiliki pegnhasilan besar, seorang pengusaha atau wanita karir; bukan berarti kewajiban nafkah sang Qowwam teralihkan, bukan?
“Nanti pembagian nafkah bagaimana?” istri pertama bertanya cemas, mengingat kebutuhan anak-anak.
“Tenang, dia bekerja dan berpenghasilan kok,” jawab suami, menjelaskan si kedua
Lantas, dimana sikap ke qowwamannya jika ia memilih istri yang mapan dan merasa tidak punya kewajiban menafkahi?
Tak Bisa Berbagi Hati
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam memang lebih mencintai Aisyah. Aisyah dan Shafiyyah pun pernah berselisih. Aisyah dan Hafsah pun pernah berselisih. Tak akan pernah persoalan hati dan emosi dapat ditimbang dengan rasio.
Meski, pengakuan beberapa lelaki menyatakan, cinta terhadap istri pertama dan kedua bukan seperti membagi hati (seperti mencintai anak 1, 2, 3, 4 dst tetap sama besarnya); kecenderungan itu pastilah ada.
Cenderung terhadap istri pertama yang telah berkorban waktu, tenaga, hati, pikiran dan semua yang dimiliki. Atau cenderung terhadap istri kedua yang cenderung ‘baru’; baru sebagai teman, baru sebagai kekasih, baru sebagai pasangan.
Percayalah, kecenderungan itu pasti muncul. Siapkah laki-laki jujur dan menanggung konsekuensinya?
Beberapa berjanji, tak akan meninggalkan anak-anak ketika memiliki istri yang berikut; nyatanya tak selalu kondisi ekonomi stabil. Keharusan mencari nafkah bagi dua istri menyebabkan waktu semakin tersita. Dua dapur dan dua keluarga tentu membutuhkan lebih banyak supplai finansial. Belum lagi perselisihan yang menguras emosi. Antar kedua istri, antar kedua keluarga, antar anak-anak. Ujung-ujungnya, poligami yang disalahkan; tuh kan, anak-anaknya nakal. Keluarga morat marit. Bapaknya kawin lagi sih!
Lalu bagaimana? Bila, memang poligami akan dilakukan, bisakah seorang suami menceritakan secara jujur apa yang nanti akan terjadi; keuangan, waktu, urusan ranjang, kecenderungan hati, anak-anak dan seterusnya?
Bila berkomitmen akan bertanggung jawab terhadap segala konsekuensi, bisakah ia menepati janji-janjinya?
Dan bila ingin seperti Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, bisakah istri kedua adalah gadis-gadis yang sudah sangat matang dalam kesendirian. Janda-janda beranak banyak yang kurang mampu. Perempuan-perempuan tak cantik yang memang tidak dilirik laki-laki.
Bisakah sang istri pertama tetap perempuan yang jauh lebih cantik, lebih muda, lebih terhormat?
Atau mau jujur bahwa dalam petualangan kali ini, pernikahan disimbolkan demikian; istri pertama untuk keprihatinan, istri kedua untuk bersenang-senang. Kalau demikian halnya, janganlah membawa nama sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam sebagai alasan poligami.
Sebab sunnah Rasulullah juga berbareng dengan kewajiban untuk menghargai ibu dari anak-anak; perempuan yang berbakti terhadap suami, istri yang sehari-hari menyisihkan seluruh kepentingan pribadinya untuk suami tercinta. []
Mother. Wife. Writer. Wanderer. Someday, a Psychologist
Sumber: Blog Sinta Yudisia—penulis, pegiat literasi Forum Lingkar Pena (FLP) dan Pelita—silakan berkunjung ke https://sintayudisia.wordpress.com/.
© Bagaimana Sebaiknya Kriteria Istri Kedua? – BERDAKWAH
Sumber: http://news.berdakwah.net/2017/04/bagaimana-sebaiknya-kriteria-istri-kedua.html?m=1