Oleh : Inayatullah Hasyim
Saudaraku, dalam kehidupan yang penuh problema di negeri ini, mungkin pernah di antara kita bertengkar. Lalu, saling menghina satu dengan lainnya atas dasar suku, ras dan golongan. Kisah berikut ini menarik untuk menjadi renungan bersama.
Suatu hari, Abu Dzar al-Ghifari dan Bilal bin Rabah, dua sahabat Nabi SAW, berselisih paham. Abu Dzar keceplosan. Dia mengucapkan, “Dasar, kulit hitam!”. Bilal sangat tersinggung dengan ucapan itu. Dia datang kepada Rasulallah SAW, dan mengadukan kegalauannya.
Rasulallah SAW memanggil Abu Dzar dan berkata, “Di dalam dirimu ada sisa-sisa jahiliyah”. Rasulallah SAW mengucapkan teguran itu karena kemuliaan seorang hamba tidak diukur berdasarkan suku, ras atau warna kulit. Namun semata karena ketakwaanya kepada Allah SWT.
Abu Dzar terpukul dengan teguran Rasulallah SAW tersebut. Berhari-hari ia termenung, bahkan berkata, “rasanya aku lebih memilih leherku ditebas Rasulallah SAW daripada mendengar ucapannya itu.” Ia mendatangi Bilal dan berkata, “aku akan letakkan kepalaku di tanah, injaklah… Tidak akan aku angkat sampai engkau memaafkan aku”.
Bilal menangis mendapati Abu Dzar demikian terpukulnya. Ia kemudian berkata, “Semoga Allah mengampunimu, Abu Dzar. Aku tidak akan pernah menginjakkan kakiku di muka yang penuh cahaya sujud pada Allah itu.” Keduanya lalu menangis, dan berpelukan. Masya Allah.
Abu Dzar al-Ghifari memiliki nama asli Jundub bin Junadah bin Sakan. Ia adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW. Abu Dzar berasal dari suku Ghifar (dikenal sebagai penyamun pada masa sebelum datangnya Islam). Ia memeluk Islam dengan sukarela. Ia salah seorang sahabat yang terdahulu dalam memeluk Islam. Ia mendatangi Nabi Muhammad langsung ke Mekah untuk menyatakan keislamannya.
Bagaimana sifat dan akhlak Abu Dzar? Dalam suatu riwayat diceritakan bahwa suatu hari, Rasulallah SAW tengah bersama malaikat Jibril, kemudian datang Abu Dzar al-Ghifari dari kejauhan, Jibril berkata, “(Lihatlah) datang Abu Dzar”. Rasulallah SAW bertanya, “Kalian para malaikat mengenalinya?”
Jibril menjawab, “Dia sangat terkenal di kalangan kami, bahkan lebih terkenal dari pada di kalangan kalian.” Rasulallah bertanya lagi, “Bagaimana dia bisa memiliki keutamaan itu?” Jibril menjawab, “Karena dia selalu rendah hati dan rajin membaca, “qul huwallahu ahad…”.
Abu Dzar dikenal sebagai pribadi yang “apa adanya” namun hatinya mudah luluh dengan al-Qur’an. Dia spontan dan tak pandai berdiplomasi. Bahkan, dia memutuskan tinggal di luar kota Madinah karena tak mampu beradaptasi dengan politik paska kematian Nabi. Namun demikian, Abu Dzar dikenal sebagai suami yang sangat memperhatikan isterinya.
Aisyah menceritakan kepada Rasulallah bahwa suatu hari dia dan sepuluh orang wanita lainnya duduk-duduk bersama, lalu Ummu Abu Dzar, salah satu wanita dalam obrolan itu, mengatakan bahwa telinganya sampai berat membawa-bawa anting yang diberikan suaminya, Abu Dzar al-Ghifari. Demi mendengar cerita Aisyah itu. Rasulallah SAW mengatakan, engkau bagiku seperti Abu Dzar pada Ummu Abu Dzar.
Ketika Abu Dzar mendekati kematiannya, istrinya menangis. Abu Dzar bertanya, “Apa yang membuatmu menangis?” Ia menjawab, “Bagaimana aku tidak menangis, sementara engkau mati di negeri yang tandus begini, dan kita tidak punya kain untuk mengkafanimu”.
Dia kemudian berkata, “Tak usah bersedih. Aku beri kabar gembira untukmu. Suatu hari aku mendengar Rasulallah SAW bersabda, aku dan para sahabat lainnya ada di situ, “Di antara kalian akan ada yang mati di tempat yang tandus dan disaksikan oleh sejumlah orang-orang beriman”. Tak ada seorangpun dari para sahabat itu yang mati di padang tandus begini. Mereka meninggal di perkampungan dan di tengah-tengah masyarakat. Akulah yang akan mati di tempat tandus ini. Demi Allah, aku tidak berdusta, bawalah aku ke pinggir jalanan (bila telah meninggal).”
Di padang yang tandus itu, tiba-tiba ada serombongan kafilah yang lewat. Demi mendengar suara tangisan dari balik gubuk kecil di pinggir jalanan, mereka berhenti dan bertanya-tanya, ada apa? Seseorang di antara mereka mengenali, subhanallah, ini Abu Dzar, sahabat Nabi yang mulia. Mereka menghentikan perjalanannya dan mengurus seluruh prosesi pemakaman Abu Dzar.
Benarlah ketika Rasulallah SAW berkata tentang Abu Dzar: “Semoga Allah merahmati Abu Dzar. Da berjalan sendirian, meninggal sendirian, dan (kelak) dibangkitkan sendirian”.
Lalu, bagaimana kepribadian Bilal bin Rabah, sahabat yang memaafkan penghinaan atasnya itu? Mari kita lihat sekilas.
Bilal bernama lengkap Bilal bin Riyah Ibnu Rabah. Dia adalah seorang budak berkulit hitam dari Habasyah (sekarang Ethiopia) yang masuk Islam ketika masih menjadi budak. Setelah majikannya mengetahui bahwa Bilal masuk Islam, maka Bilal disiksa terus menerus setiap harinya, guna mengembalikan keyakinannya agar tidak memeluk Islam.
Tetapi Bilal tidak mau kembali kepada kekafirannya dan tetap melafalkan “Ahadun Ahad, Ahadun Ahad.”. Pada akhirnya Bilal dimerdekakan oleh Abu Bakar, dan menjadi salah seorang sahabat Nabi
Dalam sebuah hadits diceritakan bahwa Rasulallah pernah mendengar suara terompah Bilal di surga. Ketika hukum syariat adzan diperintahkan oleh Allah, maka orang yang pertama kali disuruh oleh Rasulallah untuk mengumandangkan adzan adalah Bilal bin Rabah, ia dipilih karena suaranya sangat merdu dan lantang. Ia dikenal sebagai muadzin pertama dalam Islam.
Perihal kewajiban adzan, berikut ini kisahnya. Ketika jumlah kaum muslimin semakin banyak, Rasulallah SAW memikirkan bagaimana cara memanggil mereka shalat. Rasulallah SAW kemudian berdiskusi dengan para sahabatnya. Sebagian mengusulkan, “Angkat saja bendera, Ya Rasulallah.” Maksudnya, seperti pasukan perang. Bila telah terlihat bendera berkibar, tandanya siap shalat.Rasulallah tidak setuju. Sebagian lain mengusulkan dengan membunyikan lonceng seperti di gereja. Juga tidak disetujui.
Diskusi hari itu tak menemukan solusi. Di antara peserta diskusi itu, ada Abdullah bin Zaid. Dia tak henti berfikir apa cara terbaik memanggil kaum muslimin untuk shalat. Sampai, saat tidur, ia bermimpi didatangi seseorang berjubah hijau. Lalu orang berjubah hijau itu mengajarkan kalimat adzan yang sekarang kita kenal. Keesokan harinya, Abdullah bin Zaid menceritakan mimpi itu pada Rasulallah SAW.
Rasulallah SAW setuju dengan cerita sahabatnya itu lalu memerintahkan Bilal bin Rabah untuk kumandangan adzan dengan lafadz yang diceritakan tadi. Demi mendengar kumandang adzan Bilal itu kaum muslimin lalu berkerumun menuju masjid. Umar bin Khattab bahkan berkata, “Ya Rasulallah, aku melihat dalam mimpiku seperti yang dilihat oleh Abdullah…” Rasulallah SAW kemudian berkata, “Alhadulillah, atas solusi ini…”
Sejak itu, Bilal bin Rabah menjadi muadzin yang setia mengumandangkan adzannya di masjid Nabawi di Madinah itu. Dia bersungguh-sungguh dalam menjalani profesinya. Sebagai manusia, ada juga dihinggapi rasa jenuh. Suatu hari Bilal mengemukakan kegundahannya kepada Rasulullah SAW. Katanya, “Ya Rasulullah, orang-orang lain berdagang dan (dengan keuntungan berdagangnya) mereka berinfak, aku cuma seorang muazin.”
Rasulullah SAW membalas, “Ya Bilal, tidakkah engkau bahagia bahwa kelak di hari kiamat engkau adalah orang yang paling panjang lehernya.” (HR Muslim).
Panjang leher adalah kiasan untuk menunjukkan amal-amal Bilal dalam menyeru orang pada kebaikan menjadikannya berbahagia di akhirat kelak. Setelah Rasulallah SAW meninggal, Bilal mengundurkan diri jadi muadzin. Sebab, dia selalu menangis saat adzan. Tak kuasa sebab ingat Rasulallah.
Ketika Bilal didatangi kematian, istrinya berkata, “sungguh kami akan sangat bersedih.” Bilal membuka kain yang menutupi wajahnya, saat itu ia dalam sakratul mautnya. Dia kemudian berkata, “Jangan kau katakan demikian. Katakanlah, sungguh kami akan sangat bahagia” Kemudian dia berkata lagi, “Besok aku akan bertemu pujaanku, Muhammad SAW dan para sahabatnya.”
Demikian kisah singkat dua sahabat itu. Dua sahabat yang menjadikan kecintaan mereka kepada Allah dan rasul-Nya diatas segala-galanya.
* Artikel yang sama juga dimuat pada media lain