Ada juga anggapan bahwa wanita cadar diidentikkan dengan terorisme, terutama ketika muncul aksi-aksi pengeboman. Sementara, tuduhan bahwa cadar menghalangi komunikasi dan berinteraksi dengan sesama tetap dijadikan alasan. Tuduhan semacam itu terus digulirkan, sehingga menimbulkan sikap diskriminatif terhadap para muslimah yang bercadar.
Islam mengajarkan, penggunaan cadar ialah sebuah pilihan. Sebagian ulama membolehkan, sebagian lain mewajibkan. Namun, perbedaan pendapat tidak menafikan bahwa cadar bukan bagian dari ajaran Islam.
Baru-baru ini, pelarangan cadar kembali terjadi di kampus Universitas Pamulang (Unpam). Dalihnya mirip seperti kasus di Universitas Sumatera utara, yakni cadar dapat menghambat komunikasi dan menyulitkan dosen untuk berinteraksi. Pihak kampus menganggap bahwa aturan tidak melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), karena merupakan aturan rumah tangga yang wajib ditaati oleh civitas kampus.
Arogansi pihak kampus yang memberlakukan aturan diskriminatif merupakan cerminan dari tindakan intoleran. Bagaimanapun, penggunaan cadar, secara ilmiah tak pernah mengganggu efektifitas dan kinerja seseorang baik di lingkungan pendidikan maupun pekerjaan. Lebih jauh dari itu, ekspresi beragama dan keberagaman harusnya bukan hanya sekadar retorika belaka, tapi diresapi dan dipraktikkan.
Mirisnya, ini terjadi di lingkungan civitas akademik yang identik dengan tempat para kaum terpelajar. Seharusnya mereka bisa menyadari, bahwa penggunaan cadar bukanlah budaya impor dari negeri seberang, akan tetapi sebuah keyakinan syariat yang datang dari Ilahi. Jika kaum akademis yang sering dianggap obyektif saja memandang sebelah mata pada kaum bercadar, bagaimana mereka yang bukan? [kiblat/berdakwah]