Thayyibah.com :: Salah satu kemuliaan ajaran Islam ada dalam hal memuliakan tamu. Banyak hadis menyebutkan, ciri keindahan Islam seseorang terlihat dalam sikapnya memuliakan tamu. Namun, bagaimana sikap seorang istri yang sendirian di rumah dan kedatangan tamu laki-laki? Apakah ia tetap memuliakan tamu yang datang, atau tidak melayaninya karena khawatir akan berkhalwat?
Islam menobatkan istri sebagai rabbatul bait (ratu di rumah suaminya). Salah satu tugasnya adalah menjaga harta suami dan dirinya sendiri ketika ia ditinggal suami. Alquran menyebut wanita yang bisa menjaga diri dan harta suaminya sebagai wanita yang salehah.
Firman Allah SWT, “Sebab itu wanita yang salehah, adalah yang taat kepada Allah dan menjaga diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara mereka.” (QS an-Nisa [4]: 34).
Di antara jalan memelihara diri dan harta suaminya dengan tidak memperkenankan laki-laki asing untuk masuk ke rumahnya. Demikian juga tidak menerima tamu yang tidak disukai oleh suaminya ketika suami tidak di rumah (HR Ibnu Majah dan Tirmidzi).
Dalam hadis Nabi SAW disebutkan, istri yang sendirian di rumah tidak boleh menerima tamu laki-laki yang bukan mahram. Dari Jabir RA, Rasulullah SAW bersabda, “Mereka tidak boleh memasukkan lelaki di rumah. Jika mereka melanggarnya, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakitkan. Sementara mereka punya hak disediakan makanan dan pakaian dengan cara yang wajar, yang menjadi kewajiban kalian.” (HR Muslim).
Hadis ini sangat eksplisit berbicara soal adab istri di saat suaminya tidak ada, yakni dengan tidak mempersilakan laki-laki nonmahram untuk masuk ke rumahnya.
Namun, jika laki-laki yang datang adalah kerabat yang mahram bagi si istri, tentu saja hal itu diperbolehkan. Istri tersebut boleh membuka pintu dan mempersilakan masuk tamunya itu. Terkecuali, ada pesan khusus dari si suami untuk tidak membukakan pintu kepada siapa pun.
Dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyah (30/125) disebutkan, jika si istri yakin bahwa suaminya biasanya pasti akan mengizinkan untuk menerima tamu tersebut, maka hal itu juga diperbolehkan bagi si istri. Demikian kebolehan bagi orang yang telah diberi izin oleh suami untuk bertamu ke rumah si istri.
Misalnya, untuk mengambil suatu keperluan. Si istri diperbolehkan berinteraksi dengan tamu tersebut sekadar urusan dan keperluannya saja. Istri tetap harus memakai hijab secara sempurna di depan tamu laki-laki nonmahramnya.
Hadis Rasulullah SAW, “Tidak halal bagi wanita untuk puasa sunah ketika suaminya ada di rumah, kecuali dengan izin suaminya. Dan istri tidak boleh mengizinkan orang lain masuk ke rumahnya kecuali dengan izin suaminya.” (HR Bukhari Muslim).
Ibnu Hajar dalam menjelaskan hadis ini mengatakan, istri tidak boleh memutuskan sendiri siapa yang akan ia persilakan masuk ke rumahnya. Walaupun tamu laki-laki yang datang tersebut adalah orang yang sudah dikenalnya, namun tetap harus mendapatkan izin dari suami.
Para ulama mengatakan, larangan ini sebagai bentuk kehati-hatian seorang istri dalam menjaga diri dan harta suaminya. Bisa jadi, laki-laki nonmahram yang semula hanya berniat bertamu, karena melihat kondisi istri yang sendirian, akan timbul pikiran jahatnya. Berdasarkan hadis Nabi SAW, sepasang nonmahram yang berduaan, maka yang ketiga adalah setan (HR Bukhari). Ini sebagai peringatan akan timbulnya bisikan setan kepada dua orang yang berkhalwat.
Lalu, bagaimanakah caranya mematuhi hadis ini sekaligus membuat tamu yang datang tidak tersinggung dengan penolakan? Jika tamu laki-laki nonmahram tersebut datang, si istri hendaknya segera menghubungi suami. Tamu laki-laki nonmahram tersebut tetap tidak diizinkan masuk ke rumah walau ada beberapa orang.
Jika suami mengatakan akan segera pulang dan tamu diminta untuk menunggu, tamu tersebut diminta secara sopan untuk menunggu di luar atau di teras rumah. Si istri bisa juga memanggil kerabat, anggota keluarga lain, atau tetangga untuk menemani tamu yang datang atau menghidangkan minuman. Wallahu’alam.
Oleh : khazanah