oleh Dr. Acep Iwan Saidi (Dosen ITB)
Kami masih hidup, Tuan. Tapi, kami memang terlantar. Kata orang, sih, ditelantarkan. Terserah saja. Kami tidak mau berdebat soal itu. Tenaga kami telah habis. Banyak hal yang harus kami kerjakan : nyari makan untuk nanti siang, memperbaiki dinding gubuk yang miring, ngurusi si bungsu yang seminggu ini batuk-batuk, menghadapi teguran Pak RT yang bawa surat penggusuran, dan bersiap ngungsi kalau air sungai meluap. Kami ini memang payah. Jelek. Kumuh. Menjijikan.
Tapi, kami masih hidup, Tuan. Tentu kami tidak akan pernah Tuan temukan di buku catatan manapun. Sudah lama kami dihapus dari daftar hadir pembangunan. Itu juga kata orang. Kami tidak mau ambil peduli. Kami tidak memerlukan sejarah. Tercantum pada daftar hadir peradaban ataupun tidak, tidak ada pengaruhnya pada perut kami yang terus-menerus kempis. Bagi kami, jarak antara lapar dan kenyang itu terlalu jauh. Kami sangat kelelahan menempuhnya. Kami ini memang payah. Jelek. Kumuh. Menjijikan.
Sebenarnya, untuk sekedar menghilangkan jejak kami di muka bumi, tidak perlu Tuan menyebut kami telah mati. Tanpa Tuan katakan hal itu, apa yang Tuan lakukan telah dengan sendirinya membunuh kami. Coba Tuan lihat gedung yang menusuk langit di sudut kota sana, atau mall-mall di sudut yang lain. Atau bahkan taman di tengah kota. Tuan bilang itu indah, megah, aman, bersih, dan berkeadaban. Ketahuilah, Tuan, apa yang Tuan sebut indah bagi kami sangat menjijikan; apa yang Tuan definisikan aman bagi kami itu kekacauan, yang Tuan bilang bersih bagi kami sama dengan kekumuhan. Tuan mengatakan aman tentang sesuatu yang kami rasakan sebagai ancaman. Kehidupan Tuan adalah kematian kami. Kami ini dari dunia lain, Tuan, yang pasti tidak pernah Tuan kenali. Kami ini memang payah. Jelek. Kumuh. Menjijikan. Tapi, itulah hidup kami, keindahan kami, keamanan kami, kebahagiaan kami.
Karena itulah, Tuan, kami masih hidup. Tepatnya, belum mati. Dan kami bukanlah ancaman. Bagaimana kami bisa mengancam Tuan, untuk menopang diri sendiri saja kami kepayahan. Tapi, keberadaan kami memang tergantung dari cara Tuan melihat kami. Kalau Tuan anggap kami mengganggu, pastilah makna kami adalah gangguan; jika Tuan definisikan kami ancaman, kami adalah ancaman, juga kalau Tuan anggap kami sahabat, sahabat pula predikat kami. Namun, itu semua hanya ada di dalam pikiran Tuan. Kami dapat diartikan apa saja. Sudah sejak lahir kami tidak bisa mendefinisikan diri sendiri. Kami ini memang payah. Jelek. Kumuh. Menjijikan. Itu definisi yang tidak pernah berubah dari Tuan, bukan.
Tapi, sekali lagi, kami belum mati, Tuan. Jadi, jangan Tuan tulis berita di koran bahwa kami dihidupkan kembali. Kami masih hidup, Tuan, masih punya nama. Kami masih becak, selamanya mungkin hanya becak.
Terima kasih. Salam buat Bang Anies Baswedan!
Stasiun Gambir, 27/01/18