Oleh Inayatullah A. Hasyim
(Dosen Fakultas Hukum Unversitas Djuanda – Bogor)
Hari ini, Jumat (1/12/2017) umat Islam Indonesia merayakan maulid Nabi. Secara khusus, pemerintah menjadikannya sebagai hari libur nasional. Bagi sebagian masyarakat, perayaan Maulid adalah suatu keharusan. Bahkan, sudah sejak jauh-jauh hari mereka menyiapkan berbagai hal untuk kepentingan perayaan maulid Nabi itu. Bagi sebagian lain, peristiwa maulid tak perlu dirayakan, bahkan menjadi suatu bid’ah yang menyesatkan.
Hemat saya, ada tiga hal menarik tentang maulid Nabi ini.
Pertama: tradisi perayaan maulid dijalankan di hampir semua negara muslim, setidaknya jika kita melihat dari sisi “tanggal merah”-nya. Kecuali Saudi Arabia, hampir semua negara muslim “memerahkan” tanggal 12 Rabi’ul Awal. Artinya, resmi sebagai libur nasional. Dalam kalender resmi yang diterbitkan kerajaan Arab Saudi, 12 Rabi’ul Awal bukan libur nasional walaupun sebagian penduduk negeri itu “merayakan” maulid Nabi.
Kata merayakan sengaja saya berikan tanda petik. Sebab, perayaan di kalangan penduduk Mekah tidak sama dengan perayaan maulid di tanah air. Mereka tak menggelar kenduri, pasang tenda, bacakan kisah Maulid karya Syeikh al-Barzanji atau keramaian lainnya. Mereka hanya mengungkapkan rasa bahagia itu dengan membagi-bagikan hadiah kepada orang lain.
Apa yang dilakukan pemerintah Arab Saudi (dan rakyatnya) dapat difahami. Secara umum, Saudi Arabia adalah manifestasi pemikiran Imam Ibn Taymiyah. Dalam bukunyanya, إقتضاء الصراط المستقيم لمخالفة اصحاب الجحيم, Ibn Taymiyah mengatakan,
اتخاذ موسم غير المواسم الشرعية كبعض ليالي شهر ربيع الأول التي يقال إنها ليلة المولد….. فإنها من البدع التي لم يستحبها السلف ولم يفعلوها
“menjadikan musim-musim selain musim-musim syariah seperti sebagian malam pada bulan Rabi’ul Awal yang diyakini sebagai malam maulid…., perbuatan itu adalah bid’ah (inovasi) yang tidak pernah dilakukan para ulama terdahulu (salaf).”
Kedua: Bagi kalangan yang menyelenggarakan Maulid, perayaan tersebut bukan saja sebuah prosesi kultural tetapi ibadah yang bernilai. Ibadah itu meliputi; silaturahim, sholawat nabi, majlis ilmu, dan – tentu – bersedekah. Karena itu, di kampung saya, maulid Nabi biasanya diakhiri dengan makan bersama di nampan yang dibawa ibu-ibu dari rumah masing-masing. Saat kecil dulu, saya paling suka “berburu” nampan yang di atasnya ada bawang dan cabe goreng, diiris halus dan rapi. Tentu ada semur daging dan emping gorengnya juga. 🙂
Di banyak tempat, maulid adalah kerayaan tahunan yang meriah. Di berbagai kitab kuno, kita mendapatkan bahwa para ulama besar seperti As-Suyuthi, Ibn Hajar al-Asqalani, Ibn Jauzi dan Ibn ‘Abidin tidak melarang maulid Nabi. Dalam kitab حسن المقصد في عمل المولد, Imam As-Suyuthi menulis,
عندي أن أصل عمل المولد الذي هو اجتماع الناس وقراءة ما تيسر من القرآن ورواية الأخبار الواردة في مبدأ أمر النبي وما وقع في مولده من الآيات ثم يمد لهم سماط يأكلونه وينصرفون من غير زيادة على ذلك هو من البدع الحسنة التي يثاب عليها صاحبها لما فيه من تعظيم قدر النبي وإظهار الفرح والاستبشار بمولده الشريف
“Menurut saya, prosesi rangkaian maulid yang terdiri atas berkumpulnya manusia, membaca al-Qur’an, membaca riwayat tentang Nabi dan peristiwa kelahirannya serta menyantap makanan kemudian selesai, tanpa ada tambahan macam-macam adalah inovasi (bid’ah) yang baik yang mendapat balasan pahala pelakunya, sebab didalamnya ada penghormatan kepada kemuliaan Nabi dan mempertegas rasa bahagia atas kelahiran Nabi yang mulia.”
Dari penjelasan singkat Imam As-Suyuthi itu – dan ulama lainnya – perayaan Maulid adalah suatu “bid’ah yang baik” Disebut “bid’ah” sebab memang tak dikenal di zaman Nabi, juga tidak di zaman para sahabat Nabi. Esensi-nya adalah, bahwa pada hari Maulid itu, umat Islam berbahagia atas kelahiran Rasulnya dan kemudian mengungkap rasa bahagia dalam syair seperti yang ditulis oleh Syeikh al-Barzanji.
Dalam satu hadits, Rasulallah ﷺ diriwayatkan berkata bahwa Abu Lahab diringankan azabnya pada setiap hari Senin. Kok bisa, padahal dia musuh besar Rasullah ﷺ? Ya, sebab dia berbahagia ketika Rasulallah ﷺ dilahirkan. Maklum, secara garis keluarga, Nabi masih terhitung keponakan Abu Lahab sehingga dia bahagia ketika Nabi dilahirkan.
Karena itu, al-Hafiz Syamsuddin ad-Dimasyqi menulis suatu syair:
إذا كان هذا كافرا جاء ذمه *** وثبت يداه في الجحيم مخلدا
أتى انه في يوم الاثنين دائما *** يخفف عنه للسرور بأحمدا
فما الظن بالعبد الذي طول عمره *** بأحمد مسرور ومات موحدا
Jika dia (Abu Lahab) saja yang kafir telah jelas dosanya *** kekal tangannya berada di neraka jahim
Datang (berita) bahwa pada setiap hari senin selalu *** diringankan darinya (azab neraka) karena bahagia dengan (kelahiran) Muhammad
Maka, bagaimana pula dengan hamba yang sepanjang hidupnya *** dengan (kelahiran) Muhammad dia berbahagia dan mati dalam keadaan beriman
Ketiga: Terlepas dari Anda sepakat atau tidak dengan perayaan Maulid, sesungguhnya ada satu persoalan yang menyita perhatian para pakar sejarah Islam. Selama ini, kita meyakini bahwa Rasullah ﷺ lahir pada hari Senin tanggal 12 Rabi’ul Awal tahun gajah. Bacaan lebih lanjut sesungguhnya boleh membuat kita berbeda pendapat. Kita mulai dari harinya, yaitu Senin. Keyakinan ini didasari pada hadits Nabi ﷺ ketika ditanya mengapa beliau ﷺ suka berpuasa di hari Senin? Rasulallah ﷺ menjawab: “Ini adalah hari dimana aku dilahirkan.” (HR Muslim No. 1162).
Tentang tanggalnya: 12 bulan Rabi’ul Awal. Sesungguhnya tanggal 12 Rabiul Awal adalah hanya keyakinan madzhab Sunni. Kalangan Syiah meyakini Nabi lahir pada tanggal 17 masih di bulan yang sama. Menurut Syiah, pada tanggal 17 Rabi’ul Awwal pula Imam Ja’far As-Shadiq – imam keenam Syiah — dilahirkan, tentu di tahun yang berbeda.
Lalu, tentang tahunnya yang dikenal sebagai Tahun Gajah. Disebut demikian, sebab pada tahun ketika Nabi ﷺ lahir itu, pasukan Abraha dari Yaman tengah menuju Mekah untuk menghancurkan Ka’bah. Peristiwa itu, menurut Ibn Hisyam, “coincidence” dengan kelahiran Nabi Muhammad ﷺ.
Tentang tahun gajah ini ada beberapa hal yang perlu dijelaskan di sini.
Pertama: Awalnya, raja Abraha di Yaman telah membagun al-Qullaiys – gereja Ekanola – di Yaman. Abraha sendiri adalah raja Yaman yang berdarah Ethiopia. Saya lebih suka menyebutnya sebagai gubernur wilayah Yaman sebab pusat kekuasaan Kristen ketika itu adalah kerajaan Aksum di Ethiopia. Kerajaan itu sangat besar. Mereka menguasa perdagangan kawasan Arab dan India.
Abraha berharap al-Qullaiys yang ia bangun menjadi “center of attraction” untuk mengembangkan industri turisme Yaman. Namun, pesona Ka’bah di lembah Makkah lebih menarik perhatian para peziarah. Sehingga, ia mengkonsolidasikan pasukannya untuk menghancurkan ka’bah di Mekah itu.
Para sejarawan meyakini, pasukannya terdiri atas empat puluh ribu orang tentara dengan dipimpin langsung oleh Abraha yang menaiki seekor gajah putih. Peristiwa itu diabadikan al-Qur’an dengan diturunkannya surah al-Fil.
Kedua: Masyarakat Arab kala itu belum mengenal kalender. Maka peristiwa itu menjadi peristiwa yang selalu diingat. Pada tahun (baca: zaman) ketika pasukan Gajah menyerang Ka’bah itu-lah, Nabi Muhammad ﷺ diyakini telah lahirkan. Apakah persis di tahun saat penyerangan itu? Menurut saya, boleh jadi “Ya”, boleh jadi juga “tidak”. Mengapa?
Sebab kisah tentang biografi itu sesungguhnya baru dibukukan oleh Ibn Hisyam (Wafat 218 H) kurang lebih seratus lima puluh tahun setelah kematian Rasulallah SAW. Sesungguhnya, Ibn Ishaq adalah sejarawan pertama yang menulis biografi Nabi. Namun, bukunya tak sampai ke tangan kita. Keberadaan buku Ibn Ishaq kita ketahui dari karya Ibn Hisyam yang merujuk pada diktat Ibn Ishaq (Wafat 151 H) tersebut.
Misalnya, Ibn Hisyam menuturkan (dengan mengutip dari buku Ibn Ishaq): “Telah menceritakan kepadaku: Al-Mutholib bin Abdullah bin Qais bin Mahrumah, telah berkata ia (Mahrumah): “Aku dan Rasulallah ﷺ dilahirkan di tahun yang sama: Tahun Gajah.” Cerita ini menunjukan, penulisan tentang biografi Nabi baru dimulai empat generasi – dari cicit: al-Mutholib, lalu cucu: Abdullah, lalu anak: Qais, dan pelaku peristiwa: Mahrumah.
Sebagian kita mungkin bertanya, mengapa penulisan biografi nabi sangat telat bila dibandingkan dengan, misalnya, penulisan hadits-hadits Nabi yang dilakukan oleh Ibn Syihab Al-Zuhri?. (Untuk pertanyaan ini, suatu saat akan kita bahas, insya Allah)
Singkatnya, para sejarawan modern simpang siur mencatat peristiwa serangan pasukan Abrahah ke Ka’bah itu. Sebagian ahli Islam menyebutnya tahun 570M. Ada yang mencatat terjadi di tahun 568M dan ada juga yang menyebutnya terjadi di tahun 569 Masehi. Sehingga, tahun kelahiran Nabi pun menjadi berbeda-beda.
Logika sederhananya kira-kira begini; jangankan empat belas abad lalu, orang-orang tua kita saja jika ditanyakan kapan lahirnya, ada yang menjawab, “Aku lahir di zaman Jepang”. Artinya, zaman Jepang adalah rentang waktu antara 1942 – 1945. Begitulah kira-kira peristiwa tahun gajah yang menjadi tahun kelahiran Nabi itu.
Demikian tulisan singkat ini, semoga bermanfaat. Wallahua’lam bis-showab.