Breaking News
A young man brought her doughter to enjoy the evening together, Herat Afghanistan

Maaf dari Ayah

A young man brought her doughter to enjoy the evening together, Herat Afghanistan

thayyibah.com ::

Pagi ini seperti biasa aku berjalan di bawah langit biru dengan hembusan angin yang begitu sejuk. Kerja kerja dan kerja itulah pedomanku selama ini, agar aku, ibu dan adikku bisa makan. Aku memang berperan sebagai tulang punggung keluarga, kenapa tidak semenjak ayahku meninggalkan kami ibuku bekerja keras hingga sakit-sakitan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kini aku yang harus berperan untuk keluargaku. Ayah kata ayah dalam hidupku sudah tak ada lagi, jika ditanya oleh orang-orang ke mana ayahmu? yang bisa kujawabkan hanya kata dia sudah tiada. Kadang dalam hati ku sering bertanya apakah kau tak berpikir untuk mencari ayahmu, apakah kau tak penasaran mengapa ayahmu pergi, apakah kau tak ingin memperjelas semua itu?. Tapi aku tak ingin dan tak pernah mau mengetahuinya.

“kak uswa besok aku harus bayar uang sekolah” panggil adekku
“ya dek nanti kakak usahain yah uangnya” jawabku
“kak uswa aku mau cerita ni sama kakak, di sekolah aku malu sama teman-teman”
“lok kok bisa malu?” tanyaku
“aku selalu diejek katanya aku anak bawa sial, karena gara-gara aku lahir ke dunia ini ayah pergi ninggalin kita, kakak harus kerja tiap hari, dan ibu yang sakit-sakitan. aku malu kak jikalau aku nggak sekolah untuk mengurangi beban kalian aku siap kok”
“eh jangan pernah sekalipun kau ucap kata itu, asal kamu tau ya dek kamu adalah anugrah terindah dalam hidup kakak dan ibu, terus kenapa ayah pergi? Adekku sayang ayah pergi mencari nafkah agar kita bisa hidup bahagia” sambil memeluk adikku. Jika kuingat saat ayah pergi meninggalkan kami aku ingin menangis dan aku ingin sekali melupakan hal itu.

Flashback 10 tahun silam
Waktu itu aku masih duduk di bangku SMP kelas 2, sepulang sekolah aku melihat benda-benda yang tadinya tersusun rapi di ruang tamu entah kenapa berserakan di mana-mana.
“dasar wanita jal*ng, aku tidak sudi bersama kamu lagi PLaaakkk Plaaak” terdengar suara yang keras lagi kasar dari ayahku
“mas jangan pergi aku mau bagaimana jika mas pergi, uswa masih kecil dan sekarang aku tengah mengandung anak kita” ibu terlihat memohon di hadapan ayah dengan suara lirih menahan sakit
“pokoknya kamu urus dirimu sendiri aku mau pergi dengan wanita yang lebih mengerti aku”

Perlahan ku berjalan mendekati ibu yang kamar ibu kulihat ayah tengah mengemasi barangnya dan ibu tergeletak tak berdaya dengan wajah yang lebam seperti bekas tamparan. Aku tak bisa menahan tangisku. Kudekati dia kupeluk dan kucium pipinya dalam hatiku kenapa ayah tega menyakiti ibu, apa salah ibu. Tanpa ada ucapan sepatah kata pun, ayah pergi begitu saja namun ia menjatuhkan kertas yang bertuliskan JAGA IBUMU. Sejak saat itu aku benci dan tak ingin mengenal orang itu lagi.

KRiiing… kriiing…
“halo, ya betul dengan saya sendiri uswa anandiya”
“saya ingin pesan kuenya sebanyak 50 kotak, bisa dikirimkan besok lusa” kata penelepon
“oh bisa bu segera akan saya kerjakan” kataku
Andin jangan nangis lagi yah sekarang ayo kita buat kue ada pesanan yang banyak loh. Aku pun bergegas membuat kue itu.

Keesokan harinya aku mengajak andin mengantar kue pesanan yang kemarin. Sebelum sampai ke tempat tujuan kulihat sesosok tua renta tak berdaya menyapu pinggiran jalan raya dan betapa terkejutnya aku akan hal itu. “ayah” pikirku oh bukan dia bukan ayah, ayah kini sudah bahagia dengan keluarganya. Namun laki-laki itu terus menatap kami. Tatapannya sangat lembut seperti tatapan ayah. Dia perlahan mendekatiku dan ingin memeluk
“uswa, anakku ini ayah nak” katanya
“maaf pak, anda siapa ayah sya sudah tiada 10 tahun yang lalu, ayo andin” kutarik lengan andin dan kutancap gas motorku
“kak itu ayah kak dia bilang dia ayah kita”

Laki-laki tua renta itu berlari dan terus mengejar kami hingga pada akhirnya, terdengar suara tabrakan dari belakang Bruukkk mendengar hal itu, andin teriak mengatakan kepadaku “kak ayah ditabrak mobil” kubalikkan motorku seketika untuk melihat kondisinya.

Sesampai di rumah sakit kulihat dia terkapar tak berdaya, dengan nada lemah dan nafas yang tersenggal-senggal..
“uswa mana ibumu, dia adikmu anak ayah maafkan ayah nak ayah tidak bermaksud untuk pergi tapi ayah malah mengikuti sifat egois ayah. Jaga ibu nak aaayyah memang tidak pantas untuk dimaafkan tapi ayah mohon jangan pernah melupakan ayah, di akhir nafas ini aayyahh sangat senang melihat putri kecil ayah sudah tumbuh besar nan cantik.” kata ayah menahan rasa sakit
Melihat dan mendengar kata-kata itu aku ingin menangis namun kutahan. Dalam hati aku masih ingin sosok laki-laki ini menghiasi keluarga kami untuk menyenangkan hati ibu dan andin tapi mengingat kejadian masa lalu aku tak sangguap.
“cukup pak mengapa anda mengatakan hal itu, apa ada keluarga yang bisa saya hubungi?”
“aanakku hanya kalian keluargaku dari dulu sampai saat ini, titip salam dari ayah untuk ibumu”
Tangan ayah perlahan jatuh dan nafas yang berhembus tak lagi terdengar. hening sejenak dan terdengar suara dari luar yang mengatakan
“sepertinya orang tua itu akan mati tapi kasihan ya dia tidak punya keluarga dan dikejar-kejar rentenir selama 10 tahun terakhir ini, kasihan betul orang tua itu makan nyari dari tempat sampah dan tidur beralaskan kardus. Sekarang meninggal tanpa keluarga”. Mendengar hal itu aku menjerit dan menangis sejadi-jadinya ternyata bukannya ayah tak menyayangi kami tapi demi untuk menyelamatkan keluarganya dari lilitan hutang dia rela pergi menanggung penderitaan itu seorang diri.

Ayah maafkan aku yang selama ini membencimu dan tak pernah menganggapmu kini aku tahu jawaban dari surat itu, sambil menatap wajah ayah yang sudah putih pucat dan terbujur kaku. Aku teguhkan dalam hati akan menjaga mereka sebagaimana kau menjagaku dulu di waktu kecilku.

 

 

Oleh:  Chilma Nihayatul Ulya

About A Halia