Aisyah semakin penasaran. Ia turun dari boncengan dengan muka yang bingung. Ia masih tidak tahu, apa arti semua ini. Ternyata Riswan telah mengatur semuanya. Satu malam sebelumnya keluarga mereka berkunjung ke rumah Aisyah. Silaturrahmi berujung besan. Dua hari lagi akad nikahnya, dan dua bulan lagi pesta pernikahannya.
Begini ceritanya, Saat itu Riswan sakit. Mereka datang menjenguk. Tidak ada siapa – siapa dirumahnya kecuali dia dan Ibunya. Di sajikan teh untuk mereka, tapi mereka ragu untuk meminumnya. Hanya Aisyah dengan garangnya meminum teh itu.
Yang lainnya melihat Aisyah heran. Ya tentunya mereka takut kalau teh itu sudah di jampi – jampi. Aisyah juga tak sembarang minum. Ia memakai adab Islam dengan membaca basmallah saat akan meminumnya. Tidak menghembus saat panas. Tidak bernafas saat meneguknya. Dan tidak memegang gelas itu dengan tangan kirinya. Bahkan ketika mereka akan balik ke posko, ia menyempatkan dirinya untuk menyalami Ibunya Riswan dengan niat tulus menunjukkan akhlak islami. Sedangkan yang lainnya hanya pamit dengan ucapan saja. Mereka takut akan adanya sengatan mistik yang dapat dialirkan dari tangannya.
***
Tanpa terasa. Dua bulan mereka lalui sebagai peserta KKN dari sebuah Perguruan Tinggi Islam berlalu bagai dua hari menginjakkan kaki di Desa itu. Di acara perpisahan. Mereka saling bertukar cendera mata. Terselip sebuah surat dan langsung di bacanya…
06 Agustus 2010
[ setelah salam dan pembukaan ]
………………….
Adinda Aisyah yang disayang Allah. Aku salut akan keberanianmu. Bagiku kau adalah wanita langkah yang pernah kujumpai. Walaupun kau tahu bahwa aku ini anak siapa, namun engkau tetap tak memperdulikan itu. Engkau benar – benar pejuang yang dinanti umat.
Maaf kalau aku lancang. Seandainya saja aku tidak mengenal dosa. Seandainya saja aku tidak punya Tuhan. Mungkin sudah lama kuungkapkan perasaan ini. Tapi aku sadar. Aku ini siapa. Gadis sholehah sepertimu, lebih cocok mendapatkan pasangan yang sepadan ilmu dan nasab nya. Aku tak ingin melukaimu. Kau begitu baik. Pasti bahagia suami yang akan bersanding denganmu kelak.
Ada satu hal yang ingin ku katakan..
Kalau boleh aku menyesal, sesungguhnya aku juga tidak menginginkan ini. Semua ini berasal dari kakek nenek kami terdahulu. Mereka menguasai ilmu hitam. Harus ada yang menjadi tumbal agar terus awet ilmu tersebut. Kalau tidak, maka ilmu itu sendirilah yang akan memakan pemakainya. Ini adalah ilmu keturunan dan akan diturunkan juga kepadaku kelak. Mungkin orang tuakupun merasa seperti apa yang ku rasakan sekarang.
Apa mau dikata. Walau bagaimanapun dia tetap orang tuaku. Berbakti kepada orang tua juga salah satu yang paling utama diajarkan Rasul. Aku pasrah dengan semua ini. Selamat jalan Aisyah. Semoga kau sukses dalam kariermu dan semoga engkau mendapatkan pasangan yang mulia. Kuburlah kenangan kita dalam – dalam semasa KKN ini. Karena itu dapat menyiksa bathinmu.
Yang mengharapkanmu,
Riswan Holso
Bendungan air mata Aisyah pecah. Diam – diam ia juga mencintai Riswan. Walaupun Riswan biasa, namun tetap luar biasa dalam pandangannya. Riswan benar – benar tabah akan cobaan yang menimpanya. Ia juga tahu betul bagaimana berbakti kepada orang tuanya. Ia orang yang tahu agama . Ia tidak pantas disalahkan. Ia tidak bersalah. Keadaanlah yang membuatnya begitu.
***
07 Agustus 2010
Di kamar penuh kenangan
[setelah salam dan pendahuluan]
…………………
Aku tidak semulia seperti yang kau bayangkan. Betapa sombong dan angkuhnya aku kalau aku terus mempertahankan ego-ku. Aku mengerti akan kondisimu. Dan aku tidak takut akan semua isyu itu karena Allah bersamaku. Kalau kita memang jodoh, aku yakin Allah akan mempertemukan kita. Namun sebagai laki – laki, kau harus punya keberanian dan perjuangan yang kuat. Tantang dan lawanlah semua penyesalanmu itu.
Dalam islam ada pengobatan rukiah. Sakit keturunan itu bisa disembuhkan dengan rukiah kalau itu memang berasal dari gangguan yang halus. Tunjukkan pengorbananmu. Besok saat kami pulang, Ku tunggu kau disimpang bawah keluar Desa ini untuk ku kenalkan pada abang kandungku. Dia akan menjemputku pulang.
Wassalam,
Yang mendambamu,
Aisyah Munawwarah S
Akhirnya mereka pulang. Beban mata kuliah empat SKS itu tuntas…..
***
Tetesan embun yang mengalir keujung daunpun kini telah mengering. Sang mentari mulai gagah dengan sinarnya. Peserta KKN telah pulang kerumahnya masing – masing. Tingal Aisyah yang masih menunggu seseorang disimpang jalan.
“sudahlah dik, tak usah lagi ditunggu. Kalau memang dia serius, dia akan tunjukkan jati dirinya”. Ucap abangnya kasihan. Mengelus kepalanya dengan sayang. Ia adik satu – satunya. Aisyah terus terdiam memendam rindu. Berharap seseorang datang memenuhi undangan dalam suratnya.
***
Dua bulan kemudian. Mereka melangsungkan resepsi pernikahan. Malam setelah acara itu, mereka saling merebahkan diri diatas peraduan. Mereka merasa itu adalah malam pengantin yang indah yang pernah mereka lakukan dua bulan sebelumnya. Baju pengantin yang dikenakan Aisyah belum lagi tanggal. Mereka saling menatap muka. Seakan tak sabar menjalankan ibadah yang suci. Perlahan dan pelan mereka mendekat.
“ oups !!!, tunggu dulu suamiku “ ucap Aisyah menghambat bibir Riswan dengan jari telunjuknya.
“ kenapa sayang ? “
“ kita belum shalat dua rakaat. Aku ingin engkau mendo’akanku agar kisah kita ini mendapat barakah “.
Riswan tersenyum. Ia mengerti. Ia tak salah memilih istri.
Setelah selesai shalat, ubun – ubun Aisyah di kecup dengan beberapa do’a yang diucapkan. Setelah itu, ia mencium tangan Riswan dengan penuh ikhtiram . Dan pada saat itu juga..
“ istriku…, ada apa denganmu??!!” tanya Riswan khawatir.
Saat Aisyah mencium tangannya, ia batuk lalu mengeluarkan darah dari mulutnya. Membasahi tangan Riswan.
“ gak tahu. Tiba – tiba saja dadaku sesak. Kerongkonganku gatal “
“ sudah berapa lama ini terjadi ??!! mengapa kamu tidak pernah cerita akan hal ini?“
“ semenjak kita menikah dua bulan yang lalu, aku selalu disampingmu. Kau tahu aku tidak pernah muntah begini. Baru ini suamiku…..” jawabnya parau, sedih, meyakinkan.
“ apa yang kamu makan tadi?”
“ tidak ada. Tapi pas banyak tamu tadi, Ibu memberikan air minum padaku. Karena ia melihat aku sangat lelah “
“ apa kamu tidak baca bismillah saat meminumnya? “
“ tadi banyak tamu. Jadi aku minum dengan cepat. Maaf suamiku, aku lengah “
“ kita ke rumah sakit. Setelah itu, aku akan menghubungi ustadz Ardhi. Ia mungkin bisa menolong kita dengan rukiah “ ujarnya khawatir. Mukanya pucat.
Setelah selesai mengurus Aisyah di Rumah sakit, Riswan langsung pergi ke Desa sebelah, untuk menjemput Ustadz Ardhi. Seorang Da’i yang ditempatkan di Desa minoritas muslim. Riswan sempat mengenalnya saat Ustadz Ardhi mengisi pengajian di Desanya.
Tapi entah kenapa, sudah berulang kali Riswan mencoba menelphonnya, namun tetap juga tidak aktif. Biasanya Ustadz Ardhi berada di mesjid, tenang menghafal Alqur’an. Tapi kali ini, tidak ada. Iapun kerumah Ustadz Ardhi yang tak jauh dari mesjid. Ia kecewa. Sebuah gembok kecil dengan kuat mengunci pintu rumahnya. Ia begitu panik. Ustadz Ardhi pulang kampung.
Sedih dan panik menyelimutinya. Semua ruas tubuhnya lemas tak berdaya. Pupus sudah harapan Riswan. Tidak ada lagi yang tahu merukiah, kecuali Ustadz Ardhi di Desa itu. yang lainnya hanya dukun. Dan saat itu juga, sebuah kenangan dua bulan yang lalu saat baru menikah, melintas dibenaknya. Serasa ingin menghiburnya sesaat…..
Tiba – tiba. Tumpuan kaki sepeda motor itu terpeleset. Mereka nyaris jatuh ke jurang. Namun dengan tangkas dan sigapnya, Riswan dapat mengendalikan itu semua. Hingga sepeda motor itu dipindahkan ke tempat yang aman. Hanya satu yang tinggal masuk ke jurang dalam itu,
“ sayang, permenku jatuh “ ucap Riswan manja memandang Aisyah
“ permennya cuma dua. Itupun sisa kemarin. Gak sengaja tadi itu kubawa. ya udah, ambil saja ke jurang sana !!!” jawabnya sinis sok gak perduli.
“baiklah aku akan menuruti perkataanmu “
Riswan mulai beranjak turun dari sepeda motor itu. Ia berjalan maju kearah jurang.
“ Aisyahhhhhh, aku cinta padamu. Aku akan turuti perkataanmu tuk mengambil permen itu ke bawah “. Ucapnya teriak, agar Aisyah mendengar. Mereka mulai jauh.
Gelagat Aisyah yang cuek berlawanan dengan hatinya. Bagian rongga dadanya mulai berkecamuk hebat tak menentu. Jantungnya terus mendesir ketakutan. Ia takut kalau Riswan benar – benar nekad akan melakukan itu. Nafasnya terpicu sengal. Mukanya pucat. Keringat dingin mulai muncul dari dahi mukanya yang lebar. Ia tak tahan. Dan akhirnya….
“ suamikuuuuuuuuuuuuu !!!” jeritnya dari kejauhan.
Ia berlari mengejar Riswan yang nampak hanya punggungnya saja. Riswan masih belum menoleh kebelakang. Ia tersenyum geli melihat tingkah Aisyah. Rupanya Riswan hanya mengujinya.
Tiba – tiba raganya tersentak hebat dengan dekapan Aisyah yang spontan mengikatnya erat dari belakang. Tangan Aisyah langsung mendekap dada Riswan yang berbidang dan keras. Pipi kanannya menempel di punggung Riswan.
“ suamiku, jangan tinggalkan aku…” rengeknya sedih. ia menggeliat manja.
“ aku cinta padamu Aisyah. Kalau kau makan permen, aku juga makan permen.” Tegasnya pura – pura.
“ tapi suamiku, aku gak mau kehilangan dirimu. Aku juga mencintaimu. Milikku adalah milikmu juga. Kau tentu tahu itu…. “ ucapnya terputus.
Perlahan Riswan membalikkan tubuhnya. Menatap Aisyah penuh cinta. Pipi Aisyah mulai merona mengharap sesuatu. Cahaya cinta mulai benderang. Kekuatan cinta setelah ikatan suci sungguh dahsyat. Mentari mulai mengintip dari balik pepohonan tinggi. Cericit burung – burung menyibak cinta. Semilir angin mengagungkan cintaNya. Daun – daunpun mulai jatuh satu persatu. Dan alampun mulai bertasbih.
Riswan mengerti apa yang dimaksud Aisyah. Permen yang hanya tinggal sebuah itupun mulai diambilnya perlahan. Mata Aisyah terpejam. Dan kini, permen itu milik mereka berdua.
***
Ia buka dengan perlahan pintu kamar Aisyah. Dengan lambat ia berjalan meraih Aisyah. Tangisnya terus mengiringi langkah sesalnya. Bibirnya kelu tuk mengucap sesuatu.
“ istriku, kalau kau izinkan, akan kupanggil datuk yang pernah menolong orang yang sakit karena racun seperti ini….” Tanya Riswan ragu menggenggam tangan Aisyah yang lemas. Hampir setengah jam Aisyah tak sadarkan diri. Sentuhan tangan Riswan, seolah memberi kekuatan tuk berontak akan permohonannya. Dengan terbata Aisyah berkata :
“ su…suamiku, aku tidak lebih hanyalah perhiasanmu semata. Aku tidak kekal untuk kau miliki. Masih ada yang lebih berharga dibanding semua ini. Yaitu keimanan…” ucapnya berbisik setengah memaksa. Ia melanjutkan,
“ada kalanya musibah yang menimpa adalah suatu ujian untuk meningkatkan ketaqwaan kita. Jangan pernah takut akan maut. Kapanpun dan dimanapun, ia pasti datang. Aku tidak ingin menggadaikan aqidahku hanya karena ini. Lebih baik aku mati dalam keimanan daripada harus mati dalam kesyirikan. “ tegasnya menghabiskan sisa tenaganya.
“tapi istriku…” ucap Riswan kalut. Mukanya sembab bersimbah air mata. Ia tak sanggup berkata apa – apa lagi. Hatinya miris bercampur duka yang mendalam. Sejenak terlintas masa indah bersamanya. Saat menjenguknya di rumah kala sakit. Saat berbulan madu menatap keindahan alam. Saat senda gurau yang melimpahkan hasrat. Semua seolah sirna saat ia tatap kembali lekat wajah Aisyah yang semakin kritis.
Beberapa detik kemudian, Riswan mendengar Aisyah mengucap syahadat dengan berbisik lirih. Mukanya tersenyum mengarah ke barat. Telapak tangan yang digenggamnya mulai turun secara perlahan. Ia syahid mempertahankan keimanannya.
Tangis Riswan semakin menjadi. Hatinya serasa teraduk tak menentu. Ada cinta yang terbalut kerinduan. Ada sesal berselimut dendam. Semua rasa terkumpul menjadi satu kesedihan. Tiba – tiba, pandangannya memudar. Semuanya redup dan gelap.