thayyibah.com :: Ditinggalkan pasangan, entah karena dipisahkan oleh maut atau sebab perceraian, pasti menyisakan luka. Namun hidup harus terus berjalan. Membangun kembali rumah tangga dengan pasangan baru bisa menjadi pertimbangan.
Ditinggal pasangan jelas mengubah kehidupan yang dijalani sebelumnya. Secara umum, seorang wanita akan mengalami berbagai perasaan, termasuk tekanan, setelah perpisahan. Yang utama adalah rasa kehilangan. “Kehilangan secara fisik, kehilangan emotional support, kehilangan status, kehilangan rasa aman, kehilangan sosok ‘pelindung’, kehilangan sumber pendapatan keluarga, kehilangan sosok teladan—bila relasi perkawinan bagus secara spiritual,” terang Mona Sugianto, M.Psi, psikolog klinis di Ad Familia Indonesia, Jakarta.
Tekanan dirasakan, antara lain, karena stigma terhadap status janda yang baru disandang. Dalam masyarakat Indonesia masih terdapat pandangan negatif terhadap status janda, terlebih karena sebab perceraian.
Belum lagi tekanan untuk memberi penjelasan kepada anak tentang tidak adanya lagi sosok ayah dalam kehidupan mereka dan tentang bagaimana mereka menghadapi masa depan. “Pada kasus perceraian, kadang anak juga merasakan kemarahan, rasa ingin tahu, dan rasa tidak diterima. Ini bisa menjadi unfinished business jangka panjang,” papar Mona. Bila anak diasuh ibu, maka ibulah yang harus menghadapi masalah ini.
Diakui Mona, memang aneka urusan dan perubahan yang terjadi biasanya lebih cepat diadaptasi oleh perempuan yang ditinggal mati dibanding yang diceraikan. Bahkan urusan pada perempuan yang bercerai bisa tak selesai dalam waktu lama bila tak diselesaikan dengan bijaksana oleh kedua pihak.
Niat Menikah Lagi
Ketika akhirnya badai itu mereda dan hidup terus berjalan, amatlah lumrah bila kemudian muncul keinginan untuk menikah kembali. Tentu setelah masa iddah selesai. “Wajar bila seorang perempuan yang ingin menatap masa depan, kemudian dengan harapan positif mencoba membina perkawinan kembali,” kata Mona.
Hanya saja Mona mewanti-wanti benar untuk meluruskan niat menikah lagi ini. Jangan hanya karena takut kesepian, atau karena merasa harus cepat menikah kembali sebab mantan suami sudah menikah lagi. Pernikahan yang dilandasi karena alasan-alasan ini mungkin malah akan membuat masalah baru.
Berhati-hati juga untuk menyandarkan niat menikah dengan alasan ekonomi. Sepeninggal suami sebagai tulang punggung, ekonomi keluarga memang bisa morat-marit, apalagi bila istri tak punya penghasilan sendiri. Tapi menikah karena alasan ekonomi sungguh tak tepat.
Menurut Mona, alasan tersebut akan membuat perkawinan seperti transaksi bisnis. Si perempuan akan berpikir, “Modal saya apa?” Misalnya, kecantikan, kelembutan, pelayanan. Lantas, “Saya mendapat apa?” Contohnya, mendapat uang dan status. Maka si lelaki akan juga berpikir, “Modal saya uang dan jabatan. Saya mendapatkan kecantikan, pelayanan, dan seks.” Masing-masing berpikir, kalau modal lebih kecil daripada yang didapat, maka ia untung. Sebaliknya, bila modal lebih besar daripada yang didapat, ia rugi. Timbullah tuntutan demi tuntutan.
Bandingkan dengan pernyataan si perempuan, “Saya menikah denganmu karena mencintaimu. Saya akan setia dalam susah dan senang.” Sementara si lelaki menyatakan, “Saya mencintaimu, maka kesejahteraan dan kebahagiaanmu penting untuk saya.” Jadi, pikirkan dengan benar niat menikah kali ini.
Memilih Pasangan Baru
Sebagai orang yang sudah punya pengalaman menikah, sewajarnya pasangan baru dipilih dengan pertimbangan yang lebih matang. Kriteria calon lebih diarahkan kepada personality, sikap, dan pandangan hidup. Bukan lagi karena tampilan fisik atau gejolak emosi semata. Namun, tak jarang pilihan wanita yang telah berpengalaman menikah ini malah jadi aneh. “Misalnya, kapok menikah dengan pria miskin, maka sekarang harus cari suami yang kaya,” contoh Mona. Waspadai motif tak bijak ini.
Selanjutnya, Mona memberi beberapa langkah yang harus dilakukan ketika memutuskan menikah lagi.
Pertama, selesaikan dulu semua masalah dalam perkawinan sebelumnya, terutama pada kasus perceraian. Sebisa mungkin perbaiki relasi dengan mantan, apalagi bila ada anak, hingga tak menjadi hambatan dalam pernikahan berikutnya.
Kedua, terima pasangan baru sebagai pribadi tersendiri yang unik, bukan pengganti sosok suami sebelumnya. Hindari membandingkan dengan sosok suami sebelumnya. Bersiaplah hidup dalam suasana dan ritme yang baru.
Ketiga, belajar dari perkawinan sebelumnya agar perkawinan yang sekarang ini jadi lebih baik. Kembangkan suasana saling mencintai, saling mendukung dan nilai-nilai positif lainnya, yang bisa jadi pada perkawinan sebelumnya kurang diperhatikan.
Siapkan Anak Menerima “Ayah Baru”
Kebahagiaan anak semestinya jadi pertimbangan utama saat memutuskan menikah lagi. ibu pun pasti mencari calon suami yang sayang kepada anaknya. Beberapa cara bisa ditempuh untuk membuat anak memahami keputusan ibunya:
- Membangun rasa saling percaya (trust) antara ibu dan anak, sehingga relasi jadi penuh makna.
- Mengisi waktu bersama dalam suka dan duka agar semakin kuat rasa saling memahami.
- Bicara dari hati ke hati (pada anak yang lebih besar), termasuk ketakutan dan kekecewaan mereka setelah ayah pergi.
- Bila kedekatan telah terbangun kuat, dengan mudah ibu dapat mengajak anak berdiskusi tentang keputusan untuk menikah lagi.
- Mengenalkan si calon ayah baru boleh pula dilakukan, tentu dalam suasana yang menyenangkan.
Sumber: ummi-online