thayyibah.com ::
Lembah yang kosong dalam hati ini belum ada seorang pun yang pernah menyentuhnya. Di mana gerangan penghuninya.
Angin sore berhembus menentramkan jiwa yang tengah termenung di pinggir taman kota. Kuhirup dalam-dalam seperti ku kekurangan oksigen. Pusing rasanya kepalaku ini memikirkan belum ada yang menjemputku dengan kuda putihnya. Sudahlah lebih baik aku pulang.
“Assalamualaikum, bu aku pulang” ucapku.
“Waalaikumsalam, dari mana kamu nak?” tanya ibu.
“Aku dari taman kota bu, refresing pikiran hehehe” jawabku.
“Ya sudah, kamu tadi sudah sholat ashar atau belum?” tanya ibu lagi.
“Alhamdulillah sudah bu, tadi di musholah taman kota. Aku mau mandi dulu bu” pamitku seraya pergi ke kamar.
Oh ya perkenalkan aku Sisil, Sisil puspita. Wanita yang sudah berumur 30 tahun namun belum bisa menyempurnakan agamanya dengan menikah. Entah berapa lama lagi aku harus menunggu Allah mengirimkan jodohnya untukku, tapi dibalik itu semua aku tetap sabar menanti. Saat ini aku bekerja di kantor pemerintah di bidang ekonomi dan perbankan. Alhamdulillah aku bisa membantu membiayai keperluan sehari-hari karena aku hanya tinggal dengan ibuku, ayah dan ibu sudah bercerai sejak aku masih kecil.
“ahhh segarnya habis mandi, rasa penatku hilang seketika” ucapku.
Aku suka membaca novel karena dia mengalihkanku dari jenuhnya pekerjaan di kantor.
Adzan magrib berkumandang. Kutunaikan kewajibanku kepada Allah.
Malam ini sama seperti malam sebelumnya hanya bisa bercengkrama dengan ibuku. Kupandangi wajah tulusnya, kugenggam terat tanganya, tangan yang senantiasa memelukku, mengusap air mataku, aku menyanyangimu ibu.
Kringggg… kringggg….
Jam wekerku berbunyi. Kumatikan alarm jam itu, waktu menunjukkan pukul 1 pagi, kulangkahkan kakiku ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Kulaksanakan sholat malamku dengan khusyuk. Tak ada suara selain gerakan sholatku. Setelah selesai sholat aku memanjatkan doa kepada Allah.
“Ya Allah, hamba sudah lama sendiri, di manakah jodoh hamba. Melihat teman-teman hamba sudah menikah dan bahkan sudah memilki anak, hamba ingin sekali menyempurnakan agamaku ini. Pertemukan kami segera Ya Allah. Amin”
Sinar mentari menerobos masuk dalam kamarku dan menghantam pelupuk mataku, kubuka mataku perlahan. Sudah pagi ternyata, batinku.
Kuayunkan kakiku ke kamar mandi. Tak butuh waktu lama aku telah bersiap berangkat kerja.
“Pagi bu” kusapa ibuku yang sedang mempersiapkan sarapan, kucium pipinya dan memeluknya.
“Aduh kamu ini sudah besar kok masih kayak anak kecil, sudah sana sarapan, nanti kamu terlambat kerja” ucapnya.
“Iya ibu, aku sarapan”. Kuhabisakan sarapanku segera. Masakan buatan ibuku memang tak ada duanya.
“Aku berangkat kerja dulu bu, assalamualaikum” kucium tangan ibu dan bergegas ke garasi rumah untuk mengambil motor kesayanganku.
Suasana kota memang selalu padat kalau pagi hari, aku harus cepat agar tak terjebak macet. Hujan tadi malam menambah buruknya suasana pagi hari, jalan becek dan ada beberapa yang tergenang air.
Di pertigaan jalan motorku disenggol motor lain.
Brukkk. Aku terjatuh dan Ya Allah bajuku kotor semua. Bagaimana aku ke kantor dengan pakaian seperti ini?
Dia menghampiriku dan melepas helmnya. Gantengnya, astagfirullah jaga matamu, ucapku dalam hati.
“Maafkan saya, saya tidak sengaja mbak. Baju mbak kotor, aduh gimana ini” ucapnya terlihat raut wajah bersalah darinya.
“Tidak apa-apa mas, saya bisa pulang ke rumah untuk ganti baju. Lain kali hati-hati kalau naik motor” jawabku menasehatinya.
“Ya sudah mbak, bagaimana kalau saya antar pulang untuk ganti baju dan sebagai tanggung jawab saya karena sudah membuat mbak jatuh dari motor tadi” ucapnya lagi.
“Tidak usah mas, saya bisa pulang sendiri” jawabku seraya pergi darinya.
Aku bergegas pulang ke rumah secepat kilat, aku sudah terlambat. Sampai di rumah aku langsung masuk ke kamar dan berganti pakaian. Ibuku sepertinya ada di belakang. Sudahlah lebih baik tak usah berpamitan, lagi pula aku sudah sangat terlambat.
Kupacu motorku dengan cepat, jalanan sudah terasa longgar sekarang. Aku sampai di kantor. Huftt akhirnya, batinku. Ku masuki gedung besar ini, sebentar lagi pasti aku dapat panggilan.
“Bu Sisil harap ke ruangan saya” ucap pak kepala. Tuh kan apa aku bilang. Hari yang sial.
Tok.. tok.. tok..
“Masuk, duduk” perintah pak kepala. Aku pun menuruti perintahnya.
“Anda tau kenapa saya panggil ke sini?” tanyanya.
“Iya pak, saya tau” jawabku.
“Anda sangat terlambat bu, Anda niat kerja gak sih” bentaknya.
Aku hanya menunduk.
“Maafkan saya pak, tadi saya mengalami kecelakaan kecil di jalan jadi saya terlambat ke kantor” ucapku.
“Baiklah bu Sisil, Anda masih kami maafkan, tapi jangan terlambat lagi. Sekarang silahkan berkerja kembali” ucapnya.
“Terima kasih pak, saya permisi dulu” jawabku dan keluar dari ruangannya.
Aku bergegas ke tempat kerjaku. Gara-gara cowok tadi aku jadi kena teguran. Mana kerjaan banyak banget gini, Ya Allah.
Kuselesaikan pekerjaan ini dan tak terasa sudah saatnya pulang kerja. Kubergegas keluar dari kantor.
Aku terduduk di bangku taman ini lagi, setiap pulang kerja aku sempatkan ke sini untuk apa lagi kalau tidak untuk menentramkan pikiranku. Lagi-lagi sama, pangeran kuda putih tak kunjung datang padahal kehadirannya selalu kuundang dalam doa malamku. Kututup wajahku dengan kedua tanganku, rasanya lelah sekali.
“Hai mbak” sapa seseorang.
Aku yang masih sibuk dengan pikiranku yang mendung ini tak menghiraukan suara sekitarku.
“Mbak.. Hai” sapa dia lagi.
Kutatap siapa yang menyapaku dari tadi.
“Eh mas yang tadi, kita ketemu lagi, ada apa ya? Maaf saya gak denger mas panggil” ucapku ramah.
“Iya gak apa-apa, saya boleh duduk di sini” ucapnya sambil menunjuk bangku kosong di sebelahku. Bangku di taman ini memang dibuat untuk duduk dua orang.
“Eh iya, silahkan” ucapku mempersilahkan dia duduk.
“Emmm yang tadi saya minta maaf ya” ucapnya lagi.
“Aduh udah gak apa-apa mas, saya sudah memaafkan kok” jawabku.
“Hem kalau boleh tau nama mbak siapa? Saya Putra mbak” ucapnya.
“Saya Sisil, panggil Sisil aja ya put” jawabku.
“Iya deh sil, emm kamu kerja di mana? Sudah menikah belum? Tinggal di mana?” cerocosnya.
“Kamu ini nanya kayak wartawan aja haha satu-satu dong nanyanya” ucapku.
“hehe iya maaf deh” jawabnya.
“Saya kerja di kantor pemerintah, saya masih single, belum menikah, saya tinggal di komplek perumahan rahma jaya blok B. Kalau kamu put?” tanyaku.
“Saya seorang guru dan juga masih single hehe, tinggal di gang depan taman kota ini” ucapnya.
Kami pun menghabiskan sore yang ceria di taman itu, saling bertukar cerita dan pengalaman, dia sosok yang humoris ternyata, aku dibuatnya tertawa terus hingga meledak-ledak.
Kami akhiri sore yang indah ini dengan bertukar nomer hp. Aku pun beranjak pulang ke rumah dengan motor kesayanganku ini.
Kujalani rutinitas seperti biasa saat pulang ke rumah dan di sepertiga malamku aku masih senantiasa memanjatkan doa yang sama ke Allah swt.
Aku dan putra semakin dekat saja, ada kenyamanan terselubung dalam hatiku, menggetarkan jiwa dan membuat pelangi dalam hatiku. Tak ayal aku seperti orang gila dibuatnya, kadang tersenyum sendiri mengingat bagaimana dia menghiburku dengan leluconnya. Tapi dibalik itu semua aku masih merahasiakannya dari ibu.
Pagi ini kami sarapan bersama. Nasi goreng buatan ibu menggodaku dengan aromanya, lezat.
“Ibu lihat akhir-akhir ini kamu jadi beda nak” ucap ibu.
Uhukk.. uhukkkk aku terbatuk mendengar penuturan ibu. Kuminum air terlebih dahulu.
“Beda bagaimana bu, hanya perasaan ibu saja hehehe” jawabku.
“Ya sudah lanjut sarapanmu” ucapnya.
“Baik bu” lanjutku.
Rutinitas seperti biasa membuatku bosan, tapi sekarang sedikit berbeda dengan kehadiran putra. Dia kadang menghubungiku hanya untuk mengingatkan agar tak lupa makan siang. Aku hanya mengiyakannya. Ada bahagia tersendiri saat dia peduli padaku. Kadang aku berfikir apa aku menyukainya?
Tak terasa sudah dua bulan lebih aku dekat dengannya. Rasa ini semakin nyata. Tapi aku sudah bukan wanita abg lagi. Orientasiku sekarang hanya menikah, mungkin dengannya.
Hari ini kami jalan-jalan ke wisata sekitar sini dan berakhir di restoran, memang perutku sudah lapar.
Dia menggenggam tanganku, menatap mataku dalam. Aku gugup.
“Sil, aku sudah menyukaimu sejak awal kita kenalan, rasa ini sungguh besar kepadamu, aku ingin kau menjadi bagian dalam hidupku, jadilah istriku sil” ucapnya.
Aku terharu. Apakah dia pangeran kuda putih yang menjemputku? Apa dia yang dikirimkan Allah untuk menjawab semua doa-doa malamku? Aku terdiam, tak tau mau menjawab apa. Dalam hati aku bahagia.
“emmm.. Aku sudah bukan gadis remaja lagi put, aku ingin segera menikah. Kalau kau serius denganku mari temui ibuku. Sesungguhnya ridho Allah itu dari restu orangtua” ucapku.
Dia mengangguk mengiyakan.
Selesai makan kami berangkat ke rumahku untuk meminta restu dari ibuku.
Kami sudah sampai di rumahku. Aku bergegas turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah.
“Assalamualaikum bu” salamku.
“Waalaikumsalam. Eh siapa ini?” tanya ibu menujuk sosok disampingku.
“Duduk dulu bu, nanti kami jelaskan” ucapku lagi.
“Begini bu…” ucapku
“Sudah biar saya saja yang menjelaskan. Perkenalkan bu saya putra, saya sudah lama menyukai putri ibu dan saya ingin putri ibu menjadi pendamping hidup saya dan juga saya harap ibu memberi restu kepada kami” ucapnya lantang. Tak terdengar keraguan dalam ucap putra.
Ibuku terdiam beberapa saat.
“Kerja apa kamu?” tanya ibu.
“Saya seorang guru bu” ucap putra lagi.
“Ibu tak setuju kalian menikah” ucap tegas ibu.
“Apaaaa. Tapi kenapa bu?” ucapku buka suara. Aku kaget, putra juga tak kalah kaget denganku.
“Dia seorang guru, gajinya tak seberapa, dengan gaji kecil seperti itu apa bisa dia membahagiakan kamu” ucap ibu sangat menusuk. Kulihat tatapan putra sangat sedih sekali.
Aku tak kuasa menahan tangis.
“Kenapa bu? Aku sudah dewasa, aku bahagia dengannya. Aku tak mengukur kebahagiaan dari harta bu, sudah lama aku menunggu seseorang melamarku. Dia jawaban atas semua doa-doaku bu. Tak bisakah ibu berubah pikiran? Aku ingin membangun keluarga kecil yang bahagia bersamanya bu. Restui kami” ucapku memohon.
Ibu berlinang air mata. Aku pun semakin terisak, begitupun dengan putra.
“Menurutmu dia jawaban dalam doa-doamu nak, tapi apa kamu yakin dia jodohmu? Ibu hanya tak ingin kamu bernasib sama seperti ibu yang gagal dalam berumah tangga nak” ucap ibu sambil tersedu-sedu.
Ibu berlalu meninggalkan kami di ruang tamu. Aku bingung harus bagaimana ini.
“Putra, pulanglah. Yakinkan hatimu bahwa aku memang orang yang ada dalam sepertiga malammu. Jika kamu yakin atas jawaban yang Allah berikan datanglah kemari bersama kedua orangtuamu, tapi jika tidak mungkin kita memang belum berjodoh” ucapku menguatkannya dan menguatkanku.
Dia berlalu meninggalkan rumahku. Aku bergegas menuju kamarku.
Di pagi dini hari ku tunaikan tahajudku. Rasanya aku ingin meminta petunjuk dari Allah. Kutunaikan dengan hati yang sedih. Tangisku pecah dalam doaku. Aku tak kuat bersuara, hanya tetesan bening yang selalu keluar dari mataku ini.
Ya Allah jika putra memang pangeran yang Kau kirimkan untuk mendampingiku hingga akhir hayatku maka lancarkan hubungan kami, buka hati ibu agar dia menerima putra. Tapi jika putra bukan jodohku maka jauhkanlah” jerit doaku dalam hati.
Sudah seminggu putra tak ada kabar, hatiku mengatakan putra akan kembali tapi kenyataannya dia menghilang. Mungkinkah dia memang bukan jodohku.
Semenjak kejadian itu aku lebih sering di kamar, rasanya suasana kamar lebih bersahabat dengan perasaaanku saat ini.
Tokk… tokk..
Ketukan pintu membuyarkan lamunanku
“Masuk saja bu, pintunya gak aku kunci” ucapku.
Langkah ragu ibu perlahan mendekatiku yang asyik menatap luar jendela kamar.
“Maafkan ibu nak, sepertinya ibu telah salah, melihat kamu seperti ini ibu jadi sedih, kamu tak bahagia gara-gara ibu, maafkan ibu yang hanya mementingkan diri sendiri” ucap ibu seraya menangis.
Kupeluk ibuku.
“Tidak bu, jangan minta maaf. Aku tau ibu begitu karena ibu sayang sama aku. Dia saja menghilang bu, mungkin memang dia bukan jodohku” jawabku.
“Tidak nak, ibu yakin dia jodohmu, ibu merestuimu nak” ucap ibu.
Kupeluk erat ibuku, kami saling menangis.
Tokk tokk tokkk
Suara ketukan pintu membuat aksi tangis menangis kami berhenti. Aku dan ibu keluar untuk melihat siapa yang datang.
Kubuka pintu rumahku dan ternyata dia di sana, putra datang bersama keluarganya. Ya Allah rencanamu sungguh luar biasa.
Kupersilahkan mereka semua masuk.
Aku menatap wajah teduhnya, sungguh aku sangat merindukannya.
“Maksud dari kedatangan kami kemari untuk melamar putri ibu untuk anak kami, putra” ucap ayah putra.
“Maafkan ucapan ibu kemarin ya nak putra. Ibu khilaf. Sekarang ibu serahkan semuanya kepada sisil” ucap ibuku.
Aku mengangguk mengiyakan “aku bersedia” ucapku akhirnya.
“Alhamdulillah” serempak kami semua.
Senyum terpancar di wajah kami semua. Kebahagiaan yang dijanjikan Allah telah datang. Alhamdulillah jalan takdirmu selalu mengejutkan Ya Allah.
“sil” ucap putra.
Kudongakkan kepalaku untuk menunggu ia menyelesaikan ucapannya.
“Selama seminggu ini aku telah memanjatkan doa petunjuk kepada Allah dan semakin ke sini aku sangat yakin bahwa memang kamu jodoh yang digariskan untukku” ucapnya.
Aku tersenyum bahagia. Allah memang menciptakan mahkluknya berpasang-pasangan dan kini aku menemukan pasanganku dalam kesabaran doa di sepertiga malamku.
Penulis: Nilawati