thayyibah.com :: Mereka yang menolak poligami selalu berusaha mencari justifikasi dari al-Quran dan Hadits yang mendukung sikap anti mereka. Biasanya mereka berdalil dengan ayat 3 surat An-Nisa’, bahwa seorang laki-laki boleh berpoligami jika mampu beruat adil.
وَلَن تَسْتَطِيعُواْ أَن تَعْدِلُواْ بَيْنَ النِّسَاء وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلاَ تَمِيلُواْ كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِن تُصْلِحُواْ وَتَتَّقُواْ فَإِنَّ اللّهَ كَانَ غَفُوراً رَّحِيماً
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Tetapi ayat 129 surat yang sama menjelaskan siapapun tak akan mampu berlaku adil di antara istri-istrinya. Ini artinya, poligami sebenarnya tidak dibolehkan, karena kebolehan itu tergantung pada syarat “adil” yang mustahil direalisasikan.
Jika kita mengkaji penjelasan para ulama seputar kedua ayat di atas, tidak ada kontradiksi samasekali antara keduanya. Karena adil yang dimaksudkan pada ayat 3, bukan adil yang dimaksud oleh ayat 129. Memang, penggalan pertama ayat 129 berbunyi: “Dan sekali-kali kamu tidak akan bisa berbuat adil di antara para isteri kamu walaupun kamu sangat menginginkan hal itu…” Tetapi ketika kita lanjut membaca, maka ada penggalan berikutnya yang berbunyi, ”…Maka janganlah kamu terlalu condong (terhadap istri yang lebih kamu cintai) sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung….”
Jelas bahwa mafhûm mukhâlafah (makna sebaliknya) dari penggalan kedua di atas ialah: “Berbuat adillah engkau di antara mereka agar mereka tidak terkatung-katung”, karena lawan dari “Jangan terlalu condong (jangan berat sebelah)” adalah “Berlaku luruslah (berlaku adillah)”.
Jika demikian, jelas bahwa makna “adil” pada penggalan pertama, bukan makna “adil” pada penggalan kedua. Sebab jika diartikan sama, tentu akan menimbulkan makna kontradiktif, karena ayatnya akan berbunyi: “Dan kamu sekali-kali tidak akan bisa berkalu adil terhadap isteri-isterimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, maka berlaku adillah…!”
Sudah dijelaskan bahwa tidak ada orang yang bisa berlaku adil, lantas mengapa diperintah berbuat adil? Itu namanya membebani manusia dengan sesuatu yang tak mampu ia lakukan, padahal Allah Subhanahu Wata’ala berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 284; “Allah tidak membebani seseorang dengan sesuatu yang tidak mampu ia laksanakan”.
Jadi adil dalam frase pertama berarti adil dalam urusan hati (seperti rasa cinta yang lebih kepada isteri yang lain). Adil dalam hal inilah yang tak mampu dilakukan oleh manusia, sehingga mereka tak diperintahkan untuk berlaku adil dalam hal ini. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam sendiri bersabda: “Ya Allah inilah pembagianku dalam apa yang aku punyai (mampu melakukannya, yaitu urusan nafkah dan menginap) dan janganlah mencelaku pada apa yang Engkau punya dan tidak aku punya (urusan hati).” [HR. Abu Dawud]
Jadi arti “Janganlah berlaku condong (berbuat adillah)..” pada penggalan ayat kedua berarti adil dalam muamalah (seperti pemberian nafkah, giliran menginap, penyediaan fasilitas, pendidikan anak dsb). Adil dalam hal inilah yang mampu dilakukan oleh manusia.
Dengan demikian pemahaman ayat tersebut tidak akan kontradiktif. Karena tafsirannya akan berbunyi: “Engkau sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil dalam hal hati, karena hati adalah urusan Allah. Dia bisa saja menjadikanmu lebih mencintai salah satu di antara istri-istrimu. Tetapi janganlah kecendrungan hati ini membuat engkau tidak berlaku adil dalam bermuamalah kepada mereka. Janganlah kecintaanmu yang lebih kepada salah satu di antara merkea membuatmu tidak memperhatikan yang lain sehingga mereka terkatung-katung.” Dengan demikian tidak akan terjadi makna yang kontradiktif.
Ada juga yang berdalil dengan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassalam. Rasulullah bersabda di atas mimbar: “Keluarga Bani Hasyim bin Mughirah meminta izin untuk menikahkan anak perempuan mereka dengan Ali bin Abi Thalib, maka aku tidak mengizinkannya, aku tidak mengizinkannya, aku tidak mengizinkannya, kecuali bila Ali menceraikan putriku dan menikahi anak perempaun mereka. Sungguh Fathimah adalah bagian dari diriku, meragukanku apa yang meragukannya, menyakitiku apa yang menyakitinya.” [HR. Bukhari dan Muslim].
Umumnya, mereka yang menolak poligami menjadikan dasar hadits ini guna mendukung sikap anti poligami nya.
Namun, ketika dicermati kembali, anggapan tersebut tertolak dengan firman Allah Subhanahu Wata’ala dalam Surat An Nisa’: 3:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُواْ فِي الْيَتَامَى فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُواْ فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُولُواْ
“Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja.” [QS. An-Nisa’: 3].
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah Subhanahu Wata’a membolehkan seorang laki-laki menikahi wanita lebih dari satu, dan juga memerintahkan untuk menikahi satu isteri saja bila ia khawatir tak mampu berbuat adil. Nabi sendiri memiliki sembilan isteri. Maka sebagaimana ucapan beliau adalah dalil, begitu juga dengan perbuatan beliau.
Adapun alasan Nabi melarang Ali ra berpoligami karena perbuatan itu menyakiti Fathimah dan Nabi Saw, maka hal ini memang benar. Tetapi yang menjadi pertanyaan adalah, menyakiti yang seperti apa? Kalau “menyakiti” berupa perasaan Sayyidah Fathimah ra yang tersakiti karena dimadu, tentu bukan itu yang dimaksud, karena Nabi sendiri berpoligami, dan perasaan tidak enak serta cemburu itu akan selalu ada di hati para istri beliau. Istri-istri beliau juga perempuan seperti Fathimah ra. Para sahabat Nabi yang lain juga banyak berpoligami, apakah mereka dilarang berpoligami lantaran istri-istri mereka cemburu? Atau istri mereka memang tidak ada yang memiliki sifat cemburu? Tetapi jika yang dimaksudkan “menyakiti” itu adalah karena Ali ra ingin menikahi anak perempuan Abu Jahal, sehingga hal ini akan menyakiti Nabi SAW
Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassalam menjelaskan hal ini dengan sabda beliau:
وَإِنِّى لَسْتُ أُحَرِّمُ حَلاَلاً وَلاَ أُحِلُّ حَرَامًا ، وَلَكِنْ وَاللَّهِ لاَ تَجْتَمِعُ بِنْتُ رَسُولِ اللَّهِ وَبِنْتُ عَدُوِّ اللَّهِ أَبَدًا
“Sungguh aku tidak mengharamkan yang halal atau mengharamkan yang halal, akan tetapi demi Allah, tidak akan berkumpul putri Rasul Allah dan anak perempuan musuh Allah pada seorang laki-laki selamanya.” [HR. Bukhari dan Muslim]
Mengomentari hadits di atas Ibnu At-Tîn berkata: “Pendapat paling tepat dalam menafsirkan kisah ini adalah, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassalam mengharamkan Ali mengumpulkan putri beliau dengan anak perempuan Abu Jahal karena akan menyakiti beliau, dan menyakiti Nabi hukumnya haram, berdasarkan ijma’.
Adapun sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassalam: “Aku tidak mengharamkan perkara yang halal’, maksudnya, dia (anak perempuan Abu Jahal) itu halal dinikahi oleh Ali jika saja Fatimah bukan istrinya. Adapun mengumpulkan keduanya akan menyakiti Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassalam karena merasa tersakitinya Fathimah, maka hal itu tidak dibolehkan.
”Pelarangan bukan karena “tersakitinya” Fathimah ra, melainkan tersakitinya Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassalam lantaran tersakitinya Fatimah, dan umat sepakat tentang keharaman menyakiti Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassalam.
Tentang hal ini Imam Ibnul Qayyim berkata: “Dalam hadits ini terdapat keterangan tentang keharaman menyakiti Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassalam dengan cara apapun, meskipun dengan melakukan perbuatan yang mubah. Jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam merasa tersakiti dengan hal itu maka tidak boleh dilakukan berdasarkan firman Allah Subhanahu Wata’ala: “Tidak pantas bagi kalian menyakiti Rasulullah [QS. Al-Ahzab: 53].”
Mengatur, bukan Melarang
Islam yang merupakan agama fitrah, tentunya datang untuk memenuhi dan mengatur naluri kemanusiaan. Ia tidak datang untuk mencegah poligami, tetapi mengatur bagaimana cara berpoligami yang benar. Karena poligami adalah fenomena yang lumrah dan kodrati sepanjang sejarah manusia.
Poligami adalah pilihan sosial yang mubah, boleh dilakukan dan tidak berdosa orang yang tidak melakukannya. Tidak wajib dan tidak dibolehkan bagi laki-laki yang merasa tidak sanggup berbuat adil.
Namun yang terpenting adalah kita tidak boleh membenci hukum kebolehan ini, apalagi mengatakan bahwa poligami bukan merupakan Syariat Islam. Ketika ada orang yang melakukannya, tentu tidak boleh dibenci atau disalahkan, karena ia menjalani sesuatu yang dibolehkan baginya, bahkan bisa jadi dianjurkan berdasarkan hadits-hadits yang menganjurkan untuk memperbanyak umat Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassalam.
Ketika ada kasus rumah tangga poligami yang rusak karena berberapa oknum yang tidak mampu berbuat adil, tidak boleh lantas menyalahkan poligaminya. Sebab banyak juga rumah tangga monogami yang berantakan. Dengan demikian, tidak karena rusaknya rumah tangga non poligami kita menyalahkan monogaminya. Wallahu a’lam.*
Sumber: santri.net