Thayyibah.com:: Konon, seorang Puteri Istana secara diam-diam keluar dari istana. Maksud hati ingin menikmati keindahan alam. Ia berjalan mengikut ke mana langkah kaki menyeretnya. Ia benar-benar telah menempuh jarak yg jauh dari istana. Ia benar-benar menikmati hari itu sebagai “kebebasan” yg tiada tara. Sore menjelang tak terasa. Ia baru sadar bahwa hari sudah malam. Malang nasib sang Puteri, jalan menuju istana tak semudah dilalui ketika pergi, ia tersesat jalan. Di kegelapan malam itu, terpaksa ia memasuki gubuk reot kecil tuk melepas lelah, tanpa salam, karena disangka gubuk kosong. Namun, ternyata gubuk itu berpenghuni. Seorang pemuda kurus karena miskin dalam gubuk itu kaget setengah mati kedatangan bidadari nan jelita.
Pemuda kurus mempersilakan sang bidadari utk duduk dengan isyarat tangan. Tak ada kata yg bisa keluar dari bibirnya. Keduanya diam laksana patung. Malam itu terasa sangat panjang bagi keduanya. Puteri meringkuk di pojok gubuk, karena dingin. Pemuda terpaku di lantai, karena terpesona. Malam merangkak semakin larut. Setan mulai menggoda. Niat buruk menggoda hati si tuan gubuk. Namun, tiba-tiba saja pemuda kurus bertingkah aneh, membakar jari-jari tangannya di atas api pelita kecil. Satu jari terbakar. Dua jari hangus. Aroma daging hangus membumbung ke langit-langit hitam. Sepuluh jari telah melepuh, fajar pun menyingsing dan pemuda kurus meninggalkan gubuk seirama azan subuh yg mengalun syahdu. Pagi pun tiba. Sang Puteri berlari keluar gubuk. Saat yg sama, para pengawal yg mencari jejak sejak semalam menemukan puteri dan membawanya pulang ke istana.
Singkat cerita, para petugas istana kini mencari-cari pemuda “pembakar jari tangan”, namun yg dicari hilang bagai ditelan bumi. Jalan terakhir yg ditempuh pihak kerajaan adalah mengumpulkan seluruh pemuda dan memeriksa jari mereka. Pemuda kurus “pembakar jari” tertangkap dan mulai diinterogasi.
– “Mengapa kau membakar jari-jarimu?” tanya interogator istana.
– “Sebenarnya malam itu saya berkeinginan buruk kepada sang puteri, tetapi saya ingat Tuhanku dan ingat siksa-Nya. Terbayang bagiku siksaan api neraka, maka setiap niat buruk itu muncul, satu jari tangan kubakar di api pelita. Saya pun sadar, api dunia saja sudah begini panas apalagi api neraka. Itu saja alasan saya.”
Akhirnya sang pemuda dibebaskan dari segala tuduhan dan hukuman
***
Di atas peraduan, pemuda kurus duduk dengan senyum bahagia. Di dada kirinya bersandar puteri jelita dengan senyuman semanis madu dan wajah jelita seindah purnama. Pemuda kurus pembakar jari dan puteri istana telah menjadi sepasang suami-istri. Itulah jodoh. Selalu ada jalan menuju alamatnya. Demikian!
Oleh DR Amiruddin Rahim, M.Hum