Thayyibah.com :: Apa sahabat pernah mendengar kalimat “Jangan merasa cukup hanya menjadi orang BAIK, tapi juga harus menjadi orang yang ber-ILMU…” (dan tentu saja beriman). Kalimat ini lah yang akan penulis jadikan sebagai bahan perenungan bersama.
Kita semua, pasti tidak akan menyangkal bahwa keteladanan adalah metode yang paling efektif dalam pendidikan. Namun, perlu kita ingat juga, bahwa keteladanan pun butuh penjelasan, butuh arahan, butuh pemahaman. Apalagi terhadap anak kecil, amat penting bagi orang tua untuk menjelaskan alasan dari setiap tindakan.
Mengapa begini, mengapa harus begitu, dsb. Hanya saja, terkadang orang tua tidak cukup shabar untuk menjawab berbagai pertanyaan yang dilontarkan oleh putera-puteri kecilnya. Pada akhirnya, kondisi seperti ini amat memungkinkan mematikan rasa ingin tahu anak-anak kita yang begitu besarnya.
Beberapa kali penulis menemukan kasus serupa. Keteladanan tanpa dipahamkan. Atau, semacam kebaikan yang tidak “diwariskan”. Suatu perbuatan baik, yang sudah dilakukan oleh orang tua, namun “lupa” untuk mentransformasikannya kepada anak-anak mereka. Walhasil, keluarga seperti ini cenderung akan seragam kondisinya. Pihak orang tua akan lebih sering menjadi “pemeran utama”. Sedangkan anak-anak, hanya figuran yang lambat laun tersisihkan perannya.
Bisa jadi atas dasar sayang, bisa jadi atas dasar tidak tega, bisa saja karena orang tua merasa “masih kuat dan masih bisa”, dsb. Misalnya: orang tua rajin shalat, tapi anaknya tak dibangunkan untuk shalat shubuh, karena khawatir istirahat sang anak terganggu. Atau, sang ortu amat exist, banyak peran dan kontribusinya di masyarakat.
Tapi di sisi lain, lupa untuk mengajarkan anaknya untuk bisa percaya diri… bahkan sekadar menyambut tamu yang datang ke rumah. Seorang ibu yang jago masak dan menata rumah, namun tidak memberikan kesempatan pada anaknya untuk memiliki keterampilan yang sama. Yang ada, sang ibu lebih memilih sibuk sndiri daripda dibantu oleh anaknya, karena khawatir hasilnya tak sesuai dengan standar yang sang ibu punya (sebab, orang tua kadang menuntut kesempurnaan dari anaknya).
Contoh di atas, hanya secuil dari kenyataan di lapangan. Hal-hal seperti inilah yang dinamakan “kebaikan yang menjerumuskan.” Orang tua sibuk berbuat kebaikan, namun tidak memberikan anak-anaknya sebuah pembelajaran, pendidikan. Jadi, yang ingin penulis tekankan disini adalah: “saat orang tua baik, anaknya belum tentu baik juga.” Orang tua dengan sikap-sikap yang penulis contohkan sebelumnya, memanglah orang tua yang baik, namun bisa jadi belum cukup ilmu. Yup, bisa saja orang tua berpendidikan tinggi, berpengetahuan agama banyak, namun ternyata belum mempunyai cukup ilmu perihal mendidik anak-anak mereka. Istilah kerennya, ilmu parenting.
Bagi kita sebagai umat Islam, akan cenderung memilih islamic parenting. Sebab, bagaimana pun syariat Islam (yang ada pada Al-Qur’an, hadist/ sunnah, shiroh) itu adalah “induk” dari setiap ilmu. Ilmu masa kini hanyalah hasil pengembangannya. Inti dan awal dari islamic parenting sendiri adalah menanamkan AQIDAH kepada anak-anak kita. Buatlah anak-anak paham bahwa Allah segalanya. Bahkan cinta Allah itu lebih besar daripda cinta orang tua kepada anaknya. Tanamkan rasa cinta dan rasa takut yang karenaNya.
Anak-anak itu butuh dididik serta diberikan pemahaman. Iman saja tidak bisa “sekonyong-konyong” diwariskan.. begitupun dengan kebaikan. Sebab, ada suatu proses yang harus dijalankan. Anak dari nabi Nuh atau anak nabi Luth, apakah mereka otomatis mewarisi keimanan ayahnya? Tidak! Namun, untuk kisah ini, para nabi tersebut bukan tidak bisa mendidik anak mereka, upaya maksimal pun telah dilakukan. Faktor penentu lainnya adalah di karenakan anak para nabi tersebut telah dewasa, maka kisah ini masuk pada ranah “pilihan hidup”.
So, ternyata menjadi orang tua yang baik (untuk diri sendiri) saja tidak cukup. Jadilah orang tua yang mampu mentransfer kebaikan itu kepada anak-anak kita, dengan mendidik mereka juga. Bila kebingungan bagaimana caranya, tandanya ilmu kita yang memang masih harus di up-grade.. Gali dan pelajari kembali ilmu tentang pengasuhan anak, PARENTING… agar keteladan kita tak tersia dan menghasilkan jejak yang nyata.
“Janganlah engkau meninggalkan GENERASI yang LEMAH di belakangmu.”