thayyibah.com :: Enam tahun lalu, Ali Charisma dan Dina Midiani lantang menyuarakan sarung sebagai busana nasional Indonesia. Tak hanya itu, mereka juga ingin menyejajarkan sarung bersama batik yang sudah lebih dulu jadi identitas bangsa Indonesia bahkan dijadikan warisan budaya dunia oleh PBB. Mereka pun membuat kampanye bertajuk “Sarung is My New Denim”. Bukan tanpa alasan Ali memilih sarung sebagai busana bangsa.
“Kita harus mengabarkan secara besar-besaran dan menjadikan sarung sebagai tren busana yang nantinya bisa diterima masyarakat internasional,” kata Ali ketika menjadi President Director Indonesian Fashion Week (IFW) 2014. Ditambah lagi dengan pernyataan Dina yang begitu optimis kalau sarung sangat bisa menjadi bahan pakaian yang tetap trendy dan keren.
“Di negara lain memang ada sarung, tapi tidak menjadi lifestyle. Kita mengangkat gaya ini supaya menjadi sesuatu yang keren dipakai,” begitu kata Dina.
Di Myanmar, misalnya, sarung atau oleh mereka disebut dengan long yi sudah menjadi pakaian wajib sehari-hari baik perempuan maupun laki-laki, namun tidak dikembangkan menjadi busana yang fashionable. Pun di negeri asalnya, Yaman, sarung atau futah hanya digunakan dalam keseharian oleh kaum lelaki, sama seperti di Sri Lanka meski sekarang jumlah pengguna sarung di sana mulai berkurang karena ada stigma bahwa orang bersarung menunjukkan kaum kelas bawah.
Dina sendiri mengaku bahwa sarung di kalangan masyarakat masih menjadi pakaian yang minoritas, artinya hanya dipakai oleh kalangan santri maupun ibu-ibu dan bapak-bapak di perkampungan. Masih banyak yang beranggapan kalau kain sarung itu tidak modis, tidak pantas dipakai ke acara-acara resmi. Namun, hal inilah yang hendak didobrak para desainer.
Sarung harus menjadi tren fesyen Indonesia bahkan dunia. Ini juga berarti masyarakat harus siap menerima perubahan nilai guna sarung yang tadinya sebagai pakaian ibadah menjadi pakaian yang modis dan trendi.
Lalu, kabar bahwa Presiden Joko Widodo mengenakan kain sarung dan jas ketika mengunjungi Pekalongan sontak membuat para desainer busana yang tergabung dalam Indonesia Fashion Chamber (IFC) bersorak bahagia. Apalagi ini bukan satu-satunya momen Jokowi mengenakan sarung. Dalam beberapa kesempatan, Jokowi tertangkap kamera sedang mengenakan sarung.
Meski tak secara langsung menunjukkan hal ini sebagai bentuk dukungan, namun apa yang dikenakan Presiden Jokowi membuat para desainer makin optimis bisa menjadikan sarung sebagai busana khas Indonesia.
“Mudah-mudahan dengan Pak Jokowi pakai sarung itu bisa menjadi contoh bahwa sarung pantas untuk dipakai ke acara resmi kenegaraan. Berarti, kenapa kita tidak ikut memopulerkan sarung?” tegas Dina.
Fungsi Sarung dalam Sejarah Sarung sangat melekat dengan identitas kaum muslim karena dulu sarung pertama kali diperkenalkan oleh para pedagang Arab dan ketika memperkenalkan Islam di Indonesia. Sarung digunakan untuk melaksanakan salat. Pemahaman ini pun terus melekat di benak masyarakat Indonesia sehingga sarung akhirnya menjadi pakaian untuk beribadah. Hal ini berbeda dengan penggunaan sarung di Mesir. Di sana, sarung malah hanya dipakai oleh orang ketika selesai bersetubuh.
Dalam kebudayaan Indonesia, sarung sangat erat kaitannya dengan para santri. Sarung juga digunakan sebagai alat perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Kata Ketua Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia Nahdlatul Ulama Agus Sunyoto, kalau dihitung dari tahun 1800 sampai awal abad ke-20, setidaknya ada 112 perlawanan dari kalangan pesantren yang dipimpin kiai dan pemimpin tarekat Islam.
Kaum santri memilih menggunakan sarung untuk kegiatan sehari-hari karena tidak ingin meniru gaya berpakaian Belanda yang umumnya bagi laki-laki mengenakan celana dan kemeja. Puncak perlawanan ini terjadi ketika peringatan Muktamar NU ke-2 pada 1927 di Surabaya. Di sana para ulama mengeluarkan fatwa yang disebut tasabbuh (adopsi) berdasarkan sebuah hadis Nabi yang menyebutkan bahwa barang siapa meniru perilaku suatu kaum maka ia termasuk pada golongan itu.
Dari pihak Belanda sendiri sebenarnya mereka menyukai model pakaian semacam sarung ini karena mudah dan nyaman dipakai. Pun cocok sekali dipakai di Indonesia dengan iklim yang tropis alias panas bagi mereka. Namun, atas nama gengsi, banyak orang Belanda yang ogah mengenakan sarung dalam kehidupan sehari-hari lantaran tak ingin sama dengan kaum pribumi.
Akhirnya mereka mengeluarkan aturan sendiri, boleh mengenakan sarung tapi hanya untuk keperluan tidur atau saat sakit. Hal inilah yang akhirnya tercipta pandangan bahwa sarung hanya digunakan oleh masyarakat kelas bawah.
Seperginya Belanda dari Indonesia, para santri tetap setia mengenakan sarung dan peci sebagai atribut busana mereka sehari-hari. Bahkan hal ini menjadi peraturan yang wajib dipatuhi oleh para santri, setidaknya seperti itu yang terjadi di Pesantren Nurul Huda, Bandung. Berdasarkan hasil penelitian Olih Solihin tentang makna komunikasi non verbal dalam tradisi sarungan, padu padan busana ini memang dilakukan para santri untuk menghormati para kiai mereka. Ini merupakan sebuah tradisi yang harus dilestarikan.
Batik Sudah, Saatnya Sarung Menelaah sejarah fashion Indonesia, penggunaan motif dan kain batik dalam kehidupan sehari-hari menjadi capaian terbesar para desainer busana Indonesia sejauh ini.
Sama seperti sarung, zaman dulu penggunaan batik sebagai busana juga ada tatanan kelasnya. Dulu batik digunakan oleh masyarakat, terutama di sekitar Keraton, untuk menutupi tubuh bagian bawah. Beberapa motif batik juga tidak dipakai sembarangan, hanya boleh dikenakan oleh raja dan keluarganya, seperti batik motif parang. Namun, sekarang batik sudah dipakai oleh semua kalangan baik tua maupun muda dan tak peduli apa corak yang dipakainya, pokoknya semua sekarang boleh mengenakan batik.
Penggunaan sarung mungkin berbeda. Tidak ada titah tradisi yang menyatakan bahwa sarung hanya boleh dikenakan oleh kaum santri dan kiai. Namun, lantaran sejak zaman kolonial kaum santri sudah menggunakan kain silinder ini hingga menjadi tradisi, maka sarung akhirnya menjadi identitas bagi kaum muslim.
Desainer-desainer Indonesia memang pada dasarnya lebih suka mengeksplorasi busana dengan kain-kain tradisional. Dalam handbook berjudul Indonesian Women’s Fashion: The Inspiration of New Style yang diterbitkan oleh Departemen Perdagangan Republik Indonesia pada 2009, karya busana para desainer muda Indonesia terinspirasi dari warisan budaya yang mencerminkan ke-Indonesia-an di dalam kain-kain tradisional seperti batik, songket, dan tenun ikat.
Setelah ketiga kain tersebut berhasil dibawa mendunia dan jadi tren fesyen, kini para desainer Indonesia menggalakkan sarung yang digadang-gadang akan menjadi tren fesyen 2017.
Pun ada titik cerah bahwa motif sarung yang kotak-kotak serta atribut peci bisa menjadi padu padan busana yang kece ketika hal ini menjadi sorotan di ajang Milan Fashion Week. Sebuah majalah fashion pria, GQ, pekan lalu memotret gaya busana para lelaki di ajang tersebut dan mereka menobatkan salah seorang pria sebagai pemilik gaya street styleterbaik dengan busana kain sarung yang disampirkan di leher serta peci yang menutup kepalanya. Belakangan diketahui bahwa pria tersebut adalah Mobolaji Dawodu, seorang editor majalah fashion pria.
“Dalam lima tahun ini sarung digalakkan oleh timnya Ali Charisma yang kali itu masih bernaung di Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia (APPMI) sampai didukung Ibu Mari Elka Pangestu.Sarung is a denim. Semua orang pasti memakai dan punya. Sarung menjadi suatu keharusan setiap orang punya dan mau pakai. Pengertian sarung boleh bebas bahan dari daerah mana aja. Asal bentuknya dijahit seperti silinder itu dinamakan sarung,” ujar pengamat mode Susan Budihardjo.
Sumber: Antara