Breaking News

Sunnah dan Bid’ah dalam Kehamilan

hamil

thayyibah.com :: Dalam kehidupan seorang Muslim dan Muslimah yang telah terbingkai sebagai pasutri, pasti ada saja kebahagiaan yang akan selalu menyapa –dengan izin Alloh–, bahkan sangatlah beragam dan tak terhitung banyaknya. Salah satunya melalui kehadiran anak sebagai “buah hati” sekaligus “penyejuk mata”, serta sering dikategorikan sebagai “mahkota kebahagiaan rumah tangga”, yang tentu saja akan didahului oleh kehamilan sang istri.

Ini adalah hal yang wajar, lumrah dan benar adanya, karena memang diantara tujuan menikah yang dianjurkan Islam adalah untuk mendapatkan keturunan, bahkan ini merupakan kegembiraan atas terkabulnya untaian doa mulia pasutri selama ini,

 رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

“Wahai Robb kami, anugerahkanlah kepada kami, istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. al-Furqōn [25]: 74).

Sebagai suatu kenikmatan, kehamilan istri dengan sangat bijak seharusnya disyukuri, yaitu bersyukur kepada Alloh subhanahu wa ta’ala yang telah menakdirkan kehamilan dan seyogyanya dengan mengikuti tuntunan agama Islam yang diturunkan-Nya berkaitan dengan kehamilan tersebut.

Namun sayangnya, banyak terjadi fenomena kehamilan di kalangan Muslimin yang salah dalam “proses mensyukurinya”, atau bahkan tidak mampu bersyukur sama sekali!

Tulisan berikut memaparkan secara singkat Sunnah dan Bid’ah dalam kehamilan, di mana yang Sunnah sudah seharusnya diamalkan sedangkan yang bid’ah sudah seharusnya ditinggalkan.

Tuntunan Islam Selama Kehamilan

Di antara tuntunan Islam terhadap kehamilan atau sunnah kehamilan yang seharusnya dilaksanakan oleh kedua pasutri yang istrinya sedang hamil, khususnya oleh ibu hamil tersebut, antara lain:

  1. Pasutri senantiasa memohon hidayah kepada Alloh.

Karena hanya Alloh subhanahu wa ta’ala semata pemilik hidayah yang sempurna (al-Hādī). Karena itu, saat kehamilan pasutri harus meniti tangga hidayah dan meniti jalan-jalan-Nya serta dengan merealisasikan berbagai kewajiban dalam upaya mendapatkan anak keturunan yang sholeh.

  1. Berdoa kepada Alloh subhanahu wa ta’ala untuk kesholehan anak keturunan.

Dengan lirih bermohon kepada Alloh subhanahu wa ta’ala untuk diberikan keturunan yang sholeh, memberkahinya, menjaganya dari keburukan dan menjauhkannya dari gangguan setan. (Lihat dan renungkan QS. al-Furqōn [25]: 74; Maryam [19]: 5-6; Ali ‘Imrōn [3]: 38; al-Baqoroh [2]: 128; ash-Shōffāt [37]: 100; Ibrōhīm [14]: 35 & 40; dan al-Ahqōf [37]: 15, atau doa perlindungan lainnya seperti yang termaktub dalam hadits)

  1. Tidak melaknat atau mendoakan kejelekan bagi anak atau janin.

Dalam sebuah hadits yang cukup panjang, ketika ada seseorang yang melaknat hewan tunggangannya, Rosululloh sholallohu alaihi wasallam melarangnya seraya bersabda:

“…dan janganlah kalian mendoakan keburukan bagi anak-anak kalian sendiri.” (HR. Muslim)

  1. Merealisasikan ketaatan atau amal sholeh dalam keseharian.

Pasutri senantiasa komitmen untuk beribadah kepada Alloh sholallohu alaihi wasallam dalam kehidupan sehari-harinya, karena kesholehan kedua orang tua sangat bermanfaat bagi anak keturunan, baik dalam kehidupan dunia maupun akhirat.

Dalam hal ini, Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman:

 وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ

“Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang sholih, maka Robbmu menghendaki agar mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Robbmu…” (QS. al-Kahfi [18]: 82)

 وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ ۚ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ

“Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami kumpulkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang di-kerjakannya.” (QS. ath-Thūr [52]: 21)

  1. Menjaga janin dari hal yg menggugurkannya.

Rosululloh sholallohu alaihi wasallam pernah bersabda:

“Bunuhlah dza thufyatain (ular yang mempunyai dua garis putih di punggungnya), karena ia dapat membutakan mata dan menggugurkan janin.” (HR. al-Bukhori)

Berdasarkan perintah Rosululloh sholallohu alaihi wasallam ini mengindikasikan secara kuat kewajiban untuk menjaga dan menjauhkan janin dari berbagai hal yang dapat membahayakannya.

Disamping itu, berarti ibu hamil atau calon ibu juga harus mulai memilih makanan yang baik, mengkonsumsi suplemen atau vitamin yang dapat menunjang kehamilan, menjaga waktu istirahat, melakukan olah raga khusus dan mengatur aktivitasnya.

Tidak lupa pula untuk memantau perkembangan calon bayi dengan cara rutin memeriksakan kesehatannya.

Itulah diantaranya sunnah-sunnah dalam kehamilan.

Bid’ah Kehamilan

Sedangkan bid’ah dalam kehamilan, maka bentuknya adalah semua hal (ritual, prosesi, amalan dan keyakinan) yang tidak pernah dicontohkan Islam dalam menyambut kehamilan. Biasanya berupa tahayul, khurofat atau prosesi yang nyata bertentangan dengan keyakinan dan amal ibadah dalam Islam; biasanya banyak jumlahnya, karena memiliki varian dan terkadang dari satu adat ke adat lainnya atau dari suatu tempat ke tempat lainnya telah mengalami modifikasi dan adaptasi.

Di antara bentuk bid’ah dalam kehamilan –namun bukan sebagai batasan–, antara lain (1) melakukan upacara tujuh bulanan (mitoni) upaya ibu dan janin selalu dijaga dalam kesejahteraan dan keselamatan (wilujeng, santosa, jatmika, rahayu); (2) menggantungkan belati, pisau gunting dan alat tajam kecil lainnya di baju ibu hamil untuk menjaga dari gangguan setan; (3) meletakkan keris/pisau di sisi bayi ketika ditinggal sendirian untuk menjaganya dari gangguan jin; (4) keyakinan bahwa selama bayi masih dalam kandungan, maka ibu hamil atau suaminya tidak boleh membunuh atau menyembelih hewan apapun karena diyakini akan berpengaruh pada bayi berupa luka atau cacat pada tubuhnya ketika lahir; dan keyakinan atau ritual tidak berdasar lainnya.

Untuk memperkuat keyakinan dan ritual tersebut, seringkali diembel-embeli dengan ungkapan “pamali”  dan “kualat” bila tidak dikerjakan atau malahan dilanggar, lupa dengan ungkapan “dosa” manakala tidak mengikuti Sunnah atau saat berbuat bid’ah!

Fenomena dan Testimoni Jadi Dalil?

Untuk “mempermanjur” dan “memperseram” daya bid’ah dalam kehamilan yang kebanyakan berlandaskan kepada khurofat dan tahayul, seringkali dibubuhi dengan banyaknya fenomena bukti nyata yang terjadi dimasyarakat plus testimoni langsung dari pelaku atau orang lain yang mengetahuinya.

Antara lain seorang anak yang terlahir cacat adalah karena ayahnya telah membunuh atau menyembelih binatang saat istrinya hamil, bayi yang lahir sungsang atau terbelit ari-ari adalah karena ayah atau ibunya saat hamil sering melilitkan handuk di lehernya, dan seabrek fenomena dan testimoni lainnya yang banyak menyebar di masyarakat.

Menurut tinjauan syariat; keyakinan bahwa fenomena dan testimoni adalah dalil merupakan hal yang batil, karena semua kejadian adalah berdasarkan takdir Alloh  , bukan karena kesialan akibat melanggar “pamali” atau karena terkena “kualat”.

قُلْ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ

“…katakanlah: semuanya dari Alloh….” (QS. an-Nisā’ [4]: 78)

Menurut akal dan rasio, keyakinan tersebut juga batil karena fenomena bisa saja terjadi dan bisa pula tidak terjadi. Bukankah dalam realita pun demikian?

Sedangkan secara fitroh, sangat tidak logis sekali bila hal-hal yang bisa saja terjadi dan bisa pula tidak justru dikaitkan dengan hal lain yang tidak terkait dengannya?

Renungan tentang Jahiliyah

Selain berarti mengikuti was-was setan, menghilangkan sikap tawakal kepada Alloh dan mengandung unsur berprasangka jelek (su’uzhon) kepada–Nya, sesungguhnya keyakinan dan tradisi-tradisi tersebut termasuk hal yang dapat merusak keislaman sekaligus merupakan perangai jahiliyah. Dimana masyarakat jahiliyah atau paganisme adalah kaum yang percaya pada khurofat dan cerita-cerita bohong.

Dikarenakan kaum musyrikin menyia-nyiakan akal dan mengabaikan fungsi indera mereka, maka secara otomatis mereka akan percaya kepada khurofat dan cerita-cerita bohong yang tersebar, bahkan selalu bersandar kepadanya. Hingga pada akhirnya, tersebar berbagai bentuk penyembahan kepada batu, berhala, dan pepohonan, karena khurofat dan cerita bohong yang dibuat-buat. Bahkan mereka akan tenggelam dalam kesesatan dan kegelapan hidup yang tanpa petunjuk.

Abu Roja’ al-‘Athoridi rodhiallohu anhu berkata:

“Dahulu kami selalu menyembah batu, apabila kami menemukan batu lain yang lebih baik, maka kami akan membuang batu pertama yang telah disembah, kemudian berganti menyembah batu yang kami anggap lebih baik tersebut. Apabila kami tidak menemukan batu, maka kami akan mengumpulkan tanah, kemudian kami memerah air susu seekor kambing untuk mengaduk tanah tersebut hingga menjadi segumpal adonan (seperti batu), setelah itu kami thowaf di sekitarnya”.  (HR. al-Bukhōrī)

Oleh karena itu, maka pemikiran kaum jahiliyah didominasi kuat oleh berbagai khurofat sesat, hingga pemahaman mereka menjadi rusak dan teori keilmuan menjadi hilang. Maka, sebagian besar aqidah, amaliyah dan hubungan kemasyarakatan mereka sehari-hari senantiasa didasarkan kepada cerita-cerita bohong.

Diantara hasil dari sikap ini adalah:

  • Terlalu percaya kepada tukang sihir dan dukun (paranormal, orang pintar, kyai dukun, dukun kyai, mentalis, atau lainnya).

Oleh karena itu, peranan tukang sihir dan dukun selalu mendominasi dan mempengaruhi akal fikiran orang-orang jahiliyah.

 وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُو الشَّيَاطِينُ عَلَىٰ مُلْكِ سُلَيْمَانَ ۖ وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَٰكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَا أُنْزِلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ وَمَارُوتَ ۚ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّىٰ يَقُولَا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ ۖ فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ ۚ وَمَا هُمْ بِضَارِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ ۚ وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ ۚ وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ ۚ وَلَبِئْسَ مَا شَرَوْا بِهِ أَنْفُسَهُمْ ۚ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ

“Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh, dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: “Ini adalah dari sisi Allah”, dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: “Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)”. Katakanlah: “Semuanya (datang) dari sisi Alloh”. Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?” (QS. al-Baqoroh [2]: 102)

  • Pengagungan terhadap jin dan setan.

Karena orang-orang jahiliyah senantiasa diliputi perasaan takut terhadap jin dan setan, maka untuk menghilangkannya mereka harus mengagungkan jin tersebut dan dengan menyembelih binatang untuk dipersembahankan kepadanya.

Oleh karena itu, kebiasaan orang-orang ‘Arab jahiliyah, apabila di antara mereka ada yang singgah di suatu lembah, maka ia akan berkata:

“Aku berlindung kepada tuan penunggu (penguasa) lembah ini, dari keburukan kaumnya yang bodoh”, setelah itu barulah dia bermalam dengan tenang di lembah tersebut hingga pagi.

 وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ الْإِنْسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا

“Dan ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.” (QS. al-Jin [72]: 6)

  • Terpengaruh dengan thiyarah dan tasyā’um (Menyandarkan kesialan pada burung atau sesuatu yang lain).

Mu’awiyah bin al-Hakam rodhiallohu anhu berkata:

“Wahai Rosululloh, bagaimanakah halnya dengan berberapa hal yang biasa kami kerjakan pada masa jahiliyah, yaitu mendatangi para dukun?”, beliau menjawab: “Janganlah kalian mendatangi para dukun!”, saya berkata lagi: “Kami juga sering meramalkan kesialan dengan munculnya burung”. Beliau berkata: “(Kesialan) adalah sesuatu yang didapatkan seseorang dari dalam dirinya, maka jangan sampai hal tersebut menghalangi kalian (untuk meneruskan niat untuk mengerjakan sesuatu)”. Kemudian saya berkata lagi: “Ada pula sebagian dari kami yang suka meramal?”. Maka beliau menjawab: “Dahulu ada seorang nabi yang meramal, maka barangsiapa yang tepat ramalannya (prediksi), maka itu adalah hanya sekedar prediksinya (yang tepat).”  (HR. Muslim)

Akhirnya, mari kerjakan yang sunnah dan tinggalkan yang bid’ah dalam proses kehamilan. Untuk kebaikan anak, jangan pernah “coba-coba” atau “asal ikut-ikutan”!

About A Halia