thayyibah.com :: Adalah hal yang seharusnya bagi orang tua, terlebih seorang Ahlus Sunnah, untuk mencari menantu atau calon suami bagi putrinya; seorang pria yang shalih, yang baik akhlaknya dan agamanya.
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا أَتَاكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ خُلُقَهُ وَدِينَهُ فَزَوِّجُوهُ ، إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيضٌ
“Jika datang kepada kalian seorang pelamar putri kalian yang kalian ridhoi akhlaknya dan agamanya maka nikahkanlah, jika kalian tidak melakukannya maka akan terjadi fitnah (bencana) di muka bumi dan kerusakan yang luas.” [HR. Ibnu Majah dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Shahih Ibni Majah: 1601]
Dalam hadits yang mulia ini terkandung perintah memperhatikan dua perkara terpenting dalam memilih menantu:
Pertama. Kemuliaan akhlak, hal itu karena akhlak termasuk faktor terbesar langgengnya rumah tangga dan baiknya hubungan antara dua keluarga besar suami dan istri.
Kedua. Kebaikan agama, maknanya adalah: ketakwaan, kelurusan aqidah, keselamatan manhaj dari berbagai penyimpangan, istiqomah di atas sunnah, menjauhi syirik, bid’ah dan maksiat.
Inilah faktor terbesar langgengnya rumah tangga, bukan hanya di dunia tapi yang lebih penting sampai di akhirat kelak.
Al-Imam Al-Baghawi rahimahullah menyebutkan,
وَعَن الْحَسَن أَتَاهُ رجل، فَقَالَ: إِن لي بِنْتا أحبها وَقد خطبهَا غيرُ وَاحِد، فَمن تُشِير عَليّ أَن أزوجها؟ قَالَ: زوّجها رجلا يَتَّقِي اللَّه، فَإِنَّهُ إِن أَحبها أكرمها، وَإِن أبغضها لم يظلمها.
“Dan dari Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah, telah datang kepada beliau seorang laki-laki seraya berkata: Sesungguhnya aku memiliki anak perempuan yang sangat aku sayangi dan telah dilamar oleh beberapa orang, maka siapakah yang engkau sarankan untuk kunikahkan dengan putriku? Beliau berkata: Nikahkanlah dengan pria yang bertakwa kepada Allah, karena apabila ia mencintai anakmu maka ia akan memuliakannya, dan apabila ia marah kepadanya maka ia tidak akan menzaliminya.” [Syarhus Sunnah, 9/11]
Dan tidak diragukan lagi, kebaikan akhlak dan agama seseorang sangat bergantung pada ilmu agama yang ia miliki, semakin dalam ia menuntut ilmu agama akan semakin baik pula akhlak dan agamanya, maka seorang penuntut ilmu agama adalah menantu terbaik, walau dia miskin.
Marilah kita tengok sejenak teladan dari generasi Salaf, dari Pembesar Tabi’in yang Mulia Sa’id bin Al-Musayyib rahimahullah, ketika beliau memilih calon suami untuk putrinya, maka beliau memilih seorang penuntut ilmu, walau dia seorang yang miskin, dan beliau menolak pinangan anak orang kaya, bahkan anak penguasa. (put/thayyibah)
Ibnu Abi Wada’ah rahimahullah berkata,
“Dahulu aku belajar di majelis Sa’id bin Al-Musayyib rahimahullah, maka beliau kehilangan aku selama beberapa hari, tatkala aku datang lagi ke majelisnya, beliau berkata: Dari mana saja engkau?
Aku jawab: Istriku meninggal dunia, hingga aku sibuk mengurusnya. Beliau berkata: Seharusnya engkau mengabari kami sehingga kami bisa ikut melayat. Tatkala aku ingin bangkit dari majelis, beliau berkata: Apakah kamu sudah punya istri lagi?
Aku jawab: Semoga Allah merahmatimu, siapakah yang mau menikahkan aku, sementara aku hanya memiliki 2 atau 3 dirham saja?
Beliau berkata: Aku.
Aku berkata: Benarkah?
Beliau menjawab: Iya.
Kemudian beliau berkhutbah dengan memuji Allah dan bersholawat kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, lalu beliau menikahkan aku dengan mahar 2 atau 3 dirham tersebut. Maka aku pun bangkit dari majelis dan aku tidak tahu apa yang mesti aku lakukan karena sangat senangnya, lalu aku kembali ke rumah dan aku mulai berpikir dari siapa aku akan mengambil atau meminjam uang (untuk mengadakan walimahnya).
Aku sholat Maghrib, lalu kembali ke rumah dan bersitirahat sejenak. Ketika itu aku seorang diri di rumah dan aku berpuasa di hari itu, maka aku pun bersiap-siap untuk makan malam dengan sepotong roti dan minyak, tiba-tiba ada tamu yang datang mengucapkan salam seraya mengetuk pintu.
Aku berkata: Siapa yang datang? Sang tamu menjawab: Aku Sa’id.
Aku pun berusaha mengingat setiap orang yang namanya Sa’id, akhirnya fikiranku hanya tertuju pada Sa’id bin Al-Musayyib rahimahullah, namun beliau tidak pernah terlihat selama 40 tahun ini kecuali berjalan antara rumahnya dan masjid saja.
Aku pun bangkit dan keluar untuk menemui tamu itu, ternyata benar-benar Sa’id bin Al-Musayyib rahimahullah, maka aku pun mengira keadaanku telah jelas baginya. Aku berkata: Wahai Abu Muhammad, mengapa tidak engkau utus saja orang memanggilku, sehingga akulah yang datang kepadamu?
Belia berkata: Engkau lebih berhak untuk didatangi.
Aku berkata: Adakah yang bisa aku bantu?
Beliau berkata: Sesungguhnya engkau adalah seorang pria yang sendirian kemudian menikahi putriku, maka aku tidak suka engkau melewati malam ini seorang diri, inilah istrimu.
Ternyata putrinya telah berdiri di belakangnya yang tingginya sama dengannya sehingga aku tidak dapat melihatnya. Kemudian beliau memegang tangannya dan membawanya ke arah pintu seraya membuka dan menutup pintu kembali, karena saking malunya sampai wanita itu terjatuh, ia pun berpegangan di pintu, kemudian aku mengajaknya menuju jamuan yang hanya terdapat minyak dan roti, aku pun meletakkannya pada bayangan lampu agar ia tidak melihatnya. Lalu aku naik ke atap dan aku memanggil para tetangga, mereka lalu berdatangan kepadaku seraya berkata: Ada apa denganmu?
Aku berkata: Aduhai, Sa’id bin Al-Musayyib telah menikahkan aku dengan putrinya hari ini, dan ia telah datang membawa anaknya secara tiba-tiba.
Mereka pun kaget dan berkata: Sa’id bin Al-Musayyib seorang ulama besar menikahkanmu dengan putrinya?
Aku berkata: Iya, ini istriku sudah berada di dalam rumah. Mereka pun turun kepadanya, hingga sampai kepada ibuku, beliau pun datang dan berkata: Tidak boleh engkau menyentuhnya sebelum aku memperbaikinya selama tiga hari.
Aku pun menunggu sampai tiga hari, kemudian aku masuk menemuinya, ternyata ia adalah termasuk wanita yang paling cantik, yang paling hapal Al-Qur’an dan paling tahu dengan sunnah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam serta paling mengerti hak suami.
Aku pun tinggal bersamanya sebulan tanpa didatangi oleh Sa’id bin Al-Musayyib rahimahullah, dan tidak pula aku datang kepadanya, sampai mendekati sebulan penuh baru aku datang kepadanya di majelisnya, aku ucapkan salam kepadanya dan ia menjawab salamku tanpa mengatakan apa pun sampai yang hadir di majelis itu bubar.
Ketika di majelis itu tinggal kami berdua maka beliau berkata: Bagaimana keadaan putriku?
Aku jawab: Sangat baik wahai Abu Muhammad, seperti apa yang dicintai oleh kawan dan dibenci oleh musuh.
Beliau berkata: Jika ia membuatmu susah maka didiklah ia dengan tegas.
Aku pun kembali ke rumahku, lalu beliau mengirimkan kepadaku 20.000 dirham.” [Al-Hilyah, 2/167-168]
Abdullah bin Sulaiman rahimahullah berkata,
وَكَانَتْ بِنْتُ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ خَطَبَهَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ مَرْوَانَ لِابْنِهِ الْوَلِيدِ بْنِ عَبْدِ الْمَلِكِ حِينَ وَلَّاهُ الْعَهْدَ فَأَبَى سَعِيدٌ أَنْ يُزَوِّجَهُ
“Padahal putri Sa’id bin Al-Musayyib rahimahullah ini pernah dilamar oleh Abdul Malik bin Marwan untuk putranya Al-Walid bin Abdul Malik ketika dia berkuasa, tetapi Sa’id enggan untuk menikahkannya dengan putra penguasa tersebut.” [Al-Hilyah, 2/168]
Inilah teladan dari generasi Salaf, mereka lebih memilih menantu seorang penuntut ilmu syar’i, walhamdulillaah di masa ini Allah subhanahu wa ta’ala memudahkan para penuntut ilmu untuk mendalami ilmu-ilmu agama melalui lembaga-lembaga formal seperti Universitas Islam Madinah dan LIPIA Jakarta, dan keduanya termasuk lembaga pendidikan tinggi Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang terbaik dan direkomendasikan para ulama besar Ahlus Sunnah di masa ini.
Walau dimaklumi juga bahwa tidak semua alumninya yang benar-benar mengamalkan ilmunya, yaitu berpegang teguh dengan manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Tidak sedikit yang menyimpang dari jalan kebenaran, maka hendaklah setiap orang tua mengenal kebenaran agar ia tahu siapa yang berada di atas kebenaran, dan bertanya kepada ulama atau da’i Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang ia kenali.
Sebagaimana tidak sedikit pula para penuntut ilmu yang kapasitas ilmunya setingkat atau bahkan lebih tinggi dan lebih baik dalam meneladani Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan para sahabat radhiyallahu’anhum walau mereka tidak pernah belajar di Madinah dan LIPIA.
Semoga Allah ta’ala memberikan taufiq.
Oleh : Al-Ustadz Sofyan Chalid Ruray hafizhahullah