thayyibah.com :: Dalam salah satu poin penjelasan terhadap hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi,
ﻻ ﻳَﺤِﻞُّ ﺩَﻡُ ﺍﻣْﺮِﺉٍ ﻣُﺴْﻠِﻢٍ ﺇِﻻّ ﺑﺈِﺣْﺪَﻯ ﺛَﻼﺙٍ: ﺍﻟﺜَّﻴِّﺐُ ﺍﻟﺰَّﺍﻧِﻲْ، ﻭَﺍﻟﻨَّﻔْﺲُ ﺑِﺎﻟﻨَّﻔْﺲِ، ﻭَﺍﻟﺘَّﺎﺭﻙُ ﻟِﺪِﻳْﻨِﻪِ ﺍﻟﻤُﻔَﺎﺭِﻕُ ﻟﻠﺠﻤَﺎﻋَﺔِ
“Tidak halal darah seorang muslim, kecuali karena satu dari tiga hal: orang-yang sudah-menikah berzina, jiwa dengan jiwa [membunuh orang], dan orang yang murtad meninggalkan agamanya.”
[HR. Al Bukhari dan Muslim],
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullahu ta’ala mengatakan,
“Sesungguhnya, pezina yang sudah menikah dibunuh dengan dirajam menggunakan batu.
Caranya, si pezina berdiri dan orang-orang melemparinya dengan bebatuan yang tidak besar dan tidak juga kecil. Sebab batu besar akan mengakhiri nyawanya segera, sehingga hilanglah maksud perajaman. Batu-batu kecil akan membuatnya tersiksa sebelum mati. Namun hendaklah batu-batunya sedang. Jadi, pezina yang sudah menikah dirajam dengan batu sampai mati. Sama saja, ia laki-laki atau perempuan.
Jika ada yang bertanya, “Bagaimana kalian membunuhnya dengan cara seperti itu? Mengapa tidak dibunuh dengan pedang, sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ﺇِﺫَﺍ ﻗَﺘَﻠْﺘُﻢْ ﻓَﺄَﺣْﺴِﻨُﻮﺍ ﺍﻟْﻘِﺘْﻠَﺔَ
“Jika kalian membunuh, hendaknya baiklah dalam membunuh” [HR. Muslim]
Jawabannya, sesungguhnya, bukanlah maksud baik dalam membunuh dengan menggunakan cara yang paling mudah dalam membunuh. Akan tetapi, maksud baik dalam membunuh adalah yang sesuai dengan syariat, sebagaimana Allah ‘azza wa jalla firmankan,
ﻭَﻣَﻦْ ﺃَﺣْﺴَﻦُ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻠّﻪِ ﺣُﻜْﻤﺎً
“Dan siapa lagi yang lebih baik dari Allah dalam menghukumi?” (QS. Al Ma-idah: 50)
Karena itu, merajam orang yang berzina termasuk dari cara membunuh yang baik, karena sesuai dengan syariat. Jika ada yang bertanya, “Apa hikmah dari membunuh dengan cara seperti itu?”, maka jawabannya adalah kenikmatan hubungan badan tidak khusus pada sebagian anggota badan saja. Akan tetapi, itu menyeluruh ke seluruh tubuh. Ketika tubuh pezina sudah merasakan kenikmatan terlarang itu, maka sesuailah jika seluruh tubuhnya merasakan sakit hukuman yang itu sudah ditetapkan oleh syariat. Jadi, kesesuaian itu tampak sekali.
Namun, dengan apa ditetapkan zina itu, jawabannya, ditetapkan itu zina dengan persaksian empat orang laki-laki yang dipercaya yang mereka melihat kemaluan pezina laki-laki masuk ke kemaluan pasangan zinanya. Dan ini syarat. Dan kesaksian seperti itu sangatlah sulit. Karena itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya, belum pernah ditetapkan zina hanya dengan kesaksian.” Dan beliau katakan itu pada masa beliau. Cara untuk memastikan zina yang kedua adalah dengan pengakuan pezina [sendiri] bahwa ia telah berzina.” (put/thayyibah)
Sumber: Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah. Syarh Al Arba’in An Nawawiyyah. Riyadh: Dar Ats Tsurayya. 1423H/2003M, halaman 167-168.