Oleh : Inayatullah Hasyim
Partai Adalat Ve Kalkimna Partisi (Partai Keadilan dan Pembangunan) memenangai pemilu Turki 1 November 2015 lalu. Partai dakwah ini meraup 49,5 % suara atau setara dengan 317 kursi DPR. Sisanya dibagi kelompok oposisi. CHP: 25 % suara atau 134 kursi DPR dan partai lainnya.
AKP didirikan pada tahun 2001. Sejak hadir, ia memang bak mateor di panggung politik Turki. Pada pemilu perdana yang diikutinya, Januari 2002, AKP menyabet kemenangan meyakinkan. Partai itu langsung mendapat 30 persen suara pemilih dan – berdasarkan sistem proporsional ketika itu — AKP menguasai 2/3 kursi. Bahkan, AKP mengantarkan salah satu tokoh pendirinya, Abdullah Gul, menjadi Perdana Menteri. Dan lewat cara “kudeta konstitusi”, Abdullah Gul digantikan oleh Recep Tayyep Erdogan menjadi Perdana Menteri. Kini Erdogan menjadi presiden dan menentukan arah kebijakan Turki ke depan.
Apa yang membuat AKP bertahan, bahkan cenderung meningkat kekuasaannya dari waktu ke waktu? Apa pula hasil “islamisasi” yang telah berhasil dilakukan AKP untuk keluar dari kubangan sekulerisme Kamal Attaturk? Di tengah kegalauan partai-partai Islam di negeri ini yang, konon, berdasarkan survey tak punya peluang besar pada pemilu 2014, capaian AKP di Turki patut disimak untuk menjadi cermin bagi mata yang masih mau terbuka.
Membincangkan hal ini, ada sejumlah poin menarik.
Pertama: Pemilu yang dipercepat ini adalah amanat konstitusi. Seperti diketahui, pada pemilu bulan Juni lalu, AKP gagal meraih suara mayoritas. Konsekwensinya, parlemen mengalami “dead-lock”. Secara konstitusi, partai pemenang pemilu berhak membentuk kabinet dalam 45 hari. Namun, Ahmed Davutoglu, pemimpin AKP, gagal membentuk pemerintahan karena partai oposisi (antara lain, Kurdistan Workers Party) tak berniat bergabung. Sebagai konsekwensi, selaku presiden, Erdogan berhak mengeluarkan dekrit yang pada pokoknya membatalkan hasil pemilu Juni 2015 itu dan memerintahkan pemilu dipercepat. Pada 24 Agustus 2015, Erdogan mengeluarkan maklumat pemilu dipercepat pada November ini. Dan hasilnya, AKP berhasil melakukan kemenangan “rebound” setelah sempat tertahan di pemilu Juni lalu.
Saya menyebutnya sebagai kemenangan “rebound” sebab secara berturut-turut AKP selalu memenangi pemilu, 2002, 2007, 2011 dan — tertahan — di bulan Juni 2015 lalu. Kini, November 2015, AKP meraih suara meyakinkan: 49,5 persen. Apa arti kemenangan “rebound” ini dan mengapa pula AKP sempat tertahan di pemilu Juni lalu? Hal itu yang akan kita bahas di poin-poin selanjutnya.
Kedua: Harus diakui, pemilu kali ini sesungguhnya mengalami tingkat partisipasi publik yang menurun, terutama di daerah-daerah yang (diyakini) menjadi basis partai oposisi. Seperti diketahui, beberapa pekan jelang pemilu, kota Ankara diterjang bom bunuh diri. Meskipun kelompok Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) telah menyatakan bertanggung-jawab atas peristiwa itu, namun partai oposisi seperti “Republican People Party (CHP)” dan “People Democratic Party” menarik diri dari pemilu di kota Ankara itu. Akibatnya bisa ditebak, AKP mendulang keuntungan dari pengunduran diri calon oposisi. Kemenangan itu tentu sah saja secara hukum. Namun, sebagai partai berkuasa, AKP seakan melawan “kotak kosong” di Ankara. Sebuah kemenangan yang tak pantas, tentu saja.
Sebagian pengamat juga menilai, kemenangan AKP tak lepas dari peran Erdogan yang sangat dominan. Sebenarnya, secara struktural-formal, AKP kini dipimpin oleh Ahmed Davutoglu. Namun, karisma Erdogan masih sangat kuat di partai itu. Maka, ketika dia “turun gunung” dan ikut berkampanye, massa pendukung AKP membludak. Tak aneh jika ada yang menyebut kemenanga AKP kali ini adalah “personal victory” presiden Erdogan.
Terlepas dari semua kelemahan dan kekurangan itu, AKP harus diakui sebagai partai Islam modern yang sukses, bila kita bandingkan dengan Jamaat Islami di Pakistan, misalnya. Di usianya yang baru belasan tahun, AKP menguasai panggung politik Turki tiada henti. Kini, dengan raihan 49.5 % suara, rencana AKP untuk mengamandemen konstitusi akan semakin mudah. Lalu apa rahasianya?
Ada dua hal:
Hal PERTAMA AKP tidak terjebak pada perjuangan simbolisme agama. Sejak berkuasa, kabinet Erdogan (dulu saat jadi Perdana Menteri) sangat fokus pada kerja-kerja nyata yang menyentuh hajat hidup masyarakat banyak. Pembangunan digenjot, korupsi diperangi, dan – seperti diakui majalah berpengerahuh, The Economist – “the most successful in Turkey in decades to negate the inflation rate!” Erdogan berhasil menekan angka inflasi yang sempat menyentuh 8 digit.
Turki memang negeri ajaib. Dulu, di Istanbul, sekedar minum kopi di pinggir jalan harus siap-siap merogoh kocek lima juta Lira! Maklum, satu dollar Amerika setara dengan 1.650.000,- Lira. Pelan-pelan, Erdogan melakukan redenominasi mata uang. Ia membuang enam digit angka di belakang dan memperkenalkan mata uang Lira baru, Yeni Turk Lirasi.
Usaha menekan inflasi ini, ternyata, berhasil. Turki pelan-pelan masuk ke negara dengan PDB (Produk Domestik Bruto) terbesar di Eropa. Bahkan ketika sejumlah negara di Eropa dilanda krisis akut seperti Yunani dan Spanyol, Turki justru mengalami surplus. Kuncinya, Erdogan memainkan “koneksi Timur Tengah” untuk mempertahankan pasar dan kekuatan ekonominya. Bahkan, secara politik, Istanbul pelan-pelan menggeser peran Teheran dan Washington dalam pentas politik Timur Tengah.
Di lain sisi, Erdogan terus menjaga komitmen Turki sebagai anggota NATO. Politik “dua kaki” Erdogan ini menaikan nilai tawar (bargain position) Turki di hadapan para tetangganya di Uni Eropa. Di satu sisi, ia sangat akrab dengan politik Islam dan Timur Tengah, dan di sisi lain ia menjadi katalisator NATO untuk mempertahankan kawasan bebas nuklir. (non-nuclear zone).
Hal KEDUA: AKP berhasil keluar dari stigma partai politik Islam bergaris keras. Model Islam yang ditawarkannya bukan “talibanisasi” atau “wahabisasi” tetapi penyerapan tradisi-tradisi lokal dalam kehidupan politik. Emine dan Sumaya, istri dan anak Erdogan, misalnya, tidak menggunakan burqah atau jilbab “nyengser”. Mereka terlihat modis dengan jilbab motif bunga khas Turki. Ketika mengunjungi para pengungsi etnis Rohingya di Myanmar, Emine tampil bak bintang, bahkan mengalahkan pamor Julia Robert, aktris Hollywood di kesempatan yang sama.
Di sisi lain, secara legal formal, AKP melakukan tiga pekerjaan besar sekaligus; mereformasi konstitusi, mengintrodusir hak-hak sipil dan mengembalikan peran militer sebagai pengayom kedaulatan. Ketiga pekerjaan itu dilakukan secara simultan untuk menjamin kelangsungan demokratisasi di Turki. Hasilnya, militer yang sejak zaman Attaturk sangat berkuasa kini tak lagi mencampuri kekuasaan. Reformasi (baca: amandemen) konstitusi berhasil dilakukan setelah pada pemilu 2011 lalu AKP meraup lebih dari dua pertiga suara itu.
Secara struktur internal, kaderisasi AKP adalah yang terbaik, jika dibandingkan partai-partai lain. Bahkan, partai Jumhuriyat Helk Partisi (JHP), yang biasa dikenal militanpun kalah dibandingkan para kader AKP. Erdogan seringkali mengatakan, “menara adalah bayonet kami, kubah adalah helmet kami, masjid adalah barak kami dan para kader adalah tentara kami.” Ucapan Erdogan bukan sekedar isapan jempol, sebab AKP bekerja secara sangat professional. Contoh sederhana, ketika gempa mengguncang Turki, seluruh sumbangan yang disalurkan lewat AKP dapat ditelusuri secara on-line layaknya kita mengirim surat lewat pos tercatat saja.
Ketiga: AKP mengintrodusir (pelajaran) agama dengan aplikasi yang nyata. Pelan-pelan, mata pelajaran agama kini mendapat perhatian setelah sekian puluh tahun diharamkan rezim pro-Attaturk. Mostafa Akici, seorang teman kuliah saya, dalam suatu chatting, mengeluhkan dulu bagaimana ijazah dari universitas Islam luar negeri tak diakui di negerinya. Ia harus mengikuti kuliah dan ujian persamaan lokal, padahal masyarakat sudah mengenalnya sebagai ulama. Kini, mata pelajaran agama menjadi syarat kelulusan ke perguruan tinggi negeri.
Di tengah capaian-capaian itu, AKP menghadapi tantangan berat ke depan. Jumlah pengungsi Syria yang telah mencapai lebih dari 200.000 orang tentu bukan pekerjaan mudah untuk menanganinya. Sejak lama, Turki dan Syria adalah “dua tetangga yang sulit tegur sapa.” Ditambah, partai Kurdistan Worker Party (PKK) selalu merongrong pemerintahan Erdogan dan menggalang kekuatan dengan Siprus untuk merongrong Turki dari dalam.
Secara singkat, metamorfosa hasil perjuangan AKP dan Erdogan di Turki, barangkali, bisa kita lihat pada penerbangan Turkish Airlines. Di era Turgut Ozal, Turkish Airlines adalah penerbangan paling “liberal” dari semua maskapai negara-negara muslim. Semua jenis makanan haram disediakan, lengkap dengan pramugari yang dandan menor dan behenol. Kini, Turkish Airlines memastikan bahwa “no pork is served.” Tak ada lagi makanan yang mengandung babi.
Erdogan dan AKP, boleh dikata, telah berhasil menanggalkan baju sekulerisme Attaturk dengan mengintrodusir sejumlah elemen Islam. Tetapi, langkah menuju politik dan masyarakat islami di negeri itu perlu waktu panjang dan sulit. Memang, restorasi dan reformasi peradaban tak semudah membalik telapak tangan. Wallahua’lam bis-showab.