Mengelola Dana Zakat, Infak, Wakaf dan Sedekah – Yusuf Mansur Melanggar Syariah dan UU
Seperti kita ketahui, bahwa selama ini Yusuf Mansur (YM) selain mengumpulkan sedekah dari masyarakat, dia juga mengumpulkan zakat serta menerima wakaf. YM selain memposisikan dirinya sebagai penerima, dia jug bertindak seperti amil dalam sedekah, zakat maupun wakaf. Masalahnya, apakah sah seorang YM bisa bertindak sebagai seorang penerima sekaligus sebagai amil? Untuk itu, penulis ingin menyampaikan pengertian-pengertian berikut ini.
Amil adalah berasal dari kata bahasa Arab ‘amila-ya’malu yang berarti bekerja. Berarti amil adalah orang yang bekerja. Dalam konteks zakat, amil dipahami sebagai pihak yang bekerja dan terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam hal pengelolaan zakat.
Dalam Fiqh Sunnah, Sayyiq Sabiq menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Amil Zakat adalah orang-orang yang diangkat oleh penguasa atau wakil penguasa untuk bekerja mengumpulkan zakat dari orang-orang kaya. Termasuk amil zakat adalah orang yang bertugas menjaga harta zakat, penggembala hewan ternak zakat dan juru tulis yang bekerja di kantor amil zakat. Ibnu Qosim dalam Kitab Fathul Qorib (Syarah Bajuri 1/543) menjelaskan bahwa Amil zakat adalah seseorang yang ditugaskan oleh imam (pemimpin negara) untuk mengumpulkan dan mendistribusikan harta zakat.
Menurut Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin, yang dimaksud dengan Amil Zakat adalah orang-orang yang diangkat oleh penguasa untuk mengambil zakat dari orang-orang yang berkewajiban untuk menunaikannya lalu menjaga dan mendistribusikannya. Mereka diberi zakat sesuai dengan kadar kerja mereka meski mereka sebenarnya adalah orang-orang kaya. Sedangkan orang yang menjadi wakil orang yang berzakat (seperti panitia zakat masjid) untuk mendistribusikan zakatnya bukanlah termasuk amil zakat. Mereka ini tidak berhak mendapatkan harta zakat sedikitpun disebabkan status mereka sebagai wakil. Namun, jika mereka dengan penuh kerelaan hati mendistribusikan zakat kepada orang-orang yang berhak menerimanya dengan penuh amanah dan kesungguhan maka mereka turut mendapatkan pahala. Akan tetapi, jika mereka meminta upah karena telah mendistribusikan zakat, maka orang yang berzakat berkewajiban memberinya upah dari hartanya yang lain bukan dari zakat.
Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa syarat agar bisa disebut sebagai amil zakat adalah: (1) diangkat dan (2) diberi otoritas (kuasa) oleh penguasa muslim untuk mengambil zakat dan mendistribusikannya.
Lalu bagaimana dengan status panitia-panitia zakat yang dibentuk oleh Masjid? Marilah kita lihat definisi Amil Zakat menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI). Fatwa MUI Nomor 8 Tahun 2011 tentang Amil Zakat menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Amil Zakat adalah: (1) Seseorang atau sekelompok orang yang diangkat oleh Pemerintah untuk mengelola pelaksanaan ibadah zakat; atau (2) Seseorang atau sekelompok orang yang dibentuk oleh masyarakat dan disahkan oleh Pemerintah untuk mengelola pelaksanaan ibadah zakat.
Penejelasan MUI ini tentang Amil Zakat menyebutkan bahwa Amil Zakat dapat ditunjuk oleh masyarakat dan disahkan oleh pemerintah. Artinya, panitia zakat yang dibentuk oleh masyarakat, tapi tidak disahkan oleh pemerintah tidak dapat disebut sebagai Amil Zakat. Karena itu, panitia zakat ini tidak berhak mengambil sebagian harta zakat, kecuali mereka termasuk delapan golongan yang berhak menerima zakat. Jika panitia zakat ini meminta upah karena telah memungut dan mendistribusikan zakat, maka orang yang berzakat berkewajiban memberinya upah dari hartanya yang lain bukan dari zakat.
Adapun kadar upah atau gaji yang diberikan kepada mereka adalah disesuaikan dengan pekerjaan atau jabatan yang diemban yang kira-kira dengan gaji tersebut ia dapat hidup layak. Ukuran kelayakan itu sendiri sangat relatif, tergantung pada waktu dan tempat. Ini adalah pendapat mazhab Mâliki dan jumhur ulama, hanya saja, Abu Hanifah membatasi pemberian upah amil tersebut jangan sampai melebihi setengah dari dana yang terkumpul. Sementara itu Imam Syafi’i membolehkan pengambilan upah sebesar seperdelapan dari total dana zakat yang terkumpul. Bahkan ada juga pendapat ulama sebagai bentuk hati-hati upah amil bisa diambil 10% dari total zakat yang terkumpul.
Dalam Fatwa MUI Nomor 8 Tahun 2011 tentang Amil Zakat disebutkan bahwa pada dasarnya biaya operasional pengelolaan zakat dan jagi Amil Zakat disediakan oleh pemerintah (Ulil Amr). Lalu bagaimana jika biaya operasional pengelolaan zakat dan gaji Amil Zakat tidak disediakan oleh pemerintah? Fatwa MUI menyebutkan bahwa biaya operasional pengelolaan zakat dan gaji Amil Zakat dapat diambil dari dana zakat berdasarkan azas kewajaran.
Sebagai disebutkan pada bagian awal buku ini mengenai wakaf disebutkan bahwa rukun wakaf itu ada empat: Wakif (orang yang berwakaf), Al-Maukuf (harta/benda yang diwakafkan), Al-Mauquf ‘alaih (orang yang diberi amanat wakaf), dan Sighah (ikrar wakaf). Mauquf ‘alaih dalam literatur fiqh kadang diartikan orang yang diserahi mengelola harta wakaf, yang sering disebut nadzir, kadang juga diartikan peruntukan harta wakaf. Bila diartikan mauquf ‘alaih sebagai nadzir, dalam literatur fiqh kurang mendapat porsi pembahasan yang detail oleh para ahli fiqh yang terpenting adalah keberadaan mauquf ‘alaih mampu mewujudkan peruntukan benda wakaf (makna lain dari mauquf ‘alaih).
Berkenaan dengan keyakinan nadzir, menurut Nawawi sah hukum-nya wakaf kepada kafir dzimmi dengan 2 syarat, (1) peruntukan objek wakaf yang diamanatkan kepada nadzir tidak berupa ibadah bagi muslim, seperti wakaf Qur’an kepada nadzir kafir dzimmi, dan (2) manfaat benda wakaf oleh nadzir tidak untuk kepentingan keyakinan si kafir dzimmi seperti wakaf untuk pembangunan gereja yang difasilitasi oleh nadzir kafir dzimmi.
Sekarang marilah kita merujuk perundang-undangan yang berlaku di negara ini yang berkenaan dengan wakaf. Aturan mengatur tentang wakaf tertuang dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Dalam UU tersebut dinyatakan dalam Pasal 1 ayat 4 bahwa yang dimaksud dengan nadzir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif (pemberi wakaf) untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya.
Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf pasal 9 menyebutkan bahwa nadzir dapat berupa perorangan, organisasi atau badan hukum. Seseorang dapat menjadi nadzir apabila memenuhi persyaratan: (1) Warga Negara Indonesia, (2) beragama Islam, (3) dewasa, (4) amanah, (5) mampu secara jasmani dan rohani dan (6) tidak terlang melakukan perbuatan hukum. Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf Pasal 4 ayat (5) menyebutkan bahwa nadzir perorangan harus merupakan suatu kelompok yang terdiri dari paling sedikit 3 (tiga) orang, dan salah seorang diangkat menjadi ketua.
Sementara sebuah organisasi dapat menjadi nadzir jika pengurus organisasi memenuhi persyaratan nadzir perorangan dan organisasi tersebut bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam. Sedangkan Badan Hukum dapat menjadi nadzir jika pengurus badan hukum yang bersangkutan memenuhi persyaratan nadzir perorangan, badan hukum itu dibentuk berdasarkan peraturan perundangn-undangan yang berlaku dan badan hokum itu bergerak di bidang social pendidikan, kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam (Pasal 10).
Pasal 12 menyebutkan bahwa dalam melaksanakan tugasnya nadzir dapat menerima imbalan dari hasil bersih atas pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang besarnya tidak melebihi 10 persen. Dalam UU tersebut juga dijelaskan bahwa tugas soerang nadzir adalah: pertama, melakukan pengadministrasian harta benda wakaf; kedua, mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukannya; ketiga, mengawasi dan melindungi harta benda wakaf; dan ketiga, melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia (BWI).
Pasal 22 menyebutkan bahwa harta benda wakaf hanya dapat diperuntukan bagi: (a) sarana dan kegiatan ibadah; (b) sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan; (c) bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, bea siswa; (d) kemajuan dan peningkatan ekonomi umat; dan/atau (e) kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah dan peraturan perundang-undangan.
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat, pasal 25 disebutkan zakat didistribusikan kepada para mustahikk. Mengenai pedayagunaan zakat, pasal 27 menyatakan:
- Zakat dapat didayagunakan untuk usaha produktif dalam rangka penanganan fakir miskin dan peningkatan kualitas umat.
- Pendayagunaan zakat untuk usaha produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila kebutuhan dasar mustahik telah terpenuhi.
- Ketentuan lebih lanjut mengenai pendayagunaan zakat untuk usaha produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Mengenai pengelolaan dana infaq, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya, pasal 28 menyatakan, “Pendistribusian dan pendayagunaan infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan syariat Islam dan dilakukan sesuai dengan peruntukkan yang diikrarkan oleh pemberi”.
Dari paparan di atas jelas dan gambling sekali bahwa Yusuf Mansut tidak berhak dan tidak boleh mengelola dana zakat, wakaf, infak dan sedekah untuk kepentingannya sendiri. Jika Yusuf Mansur menggunakan zakat, wakaf, infaq, dan sekedah untuk kepentingannya sendiri, tidak saja ia telah melanggar aturan syariat Islam, tapi juga melanggar hukum yang berlaku di negeri ini. (Tabrani Sabiri/thayyibah)