Sesat. Logika Matematika Sedekah Yusuf Mansur
Yusur Mansur (YM) secara serampangan menyatakan bahwa jika kita bersedekah seribu rupiah, maka Allah akan membalas sebanyak sepuluh ribu rupiah. Artinya, Allah akan membalas sepuluh kali lipat dari jumlah harta yang kita sedekahkan. Ayat yang dijadikan lanadasan untuk teori sedekahnya ini adalah QS Al-an’am ayat 160 dan Al-Baqarah ayat 261. “Barang siapa berbuat kebaikan mendapat balasan sepuluh kali lipat amalnya. Dan barang siapa berbuat kejahatan dibalas seimbang dengan kejahatannya. Mereka sedikit pun tidak dirugikan (dizalimi),” (QS. QS Al-an’am: 160). “Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Mahaluas, Maha Mengetahui,” (QS Al-Baqarah: 261).
Marilah kita telisik ulama tafisr Ibnu Katsir dan Qurthubi mengenai ayat di atas.
Dalam Al-jami’ li Ahkam Al-Qur’an, Qurthubi bahwa kata “hasanah” (kebaikan) dalam ayat ini maknanya adalah iman kepada Allah. Menurut Qurthubi, tafsir ayat ini adalah “barangsiapa bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, maka amal kebaikannya yang ia lakukan di dunia akan memperoleh ganjaran sepuluh kali lipat”. Sedangkan kata “sayyi’ah” (perbuatan buruk) maknanya adalah syirik. Jadi jelas, menurut Qurthubi, kata “hasanah” bukan bermakna sedekah, melainkan iman kepada Allah.
Sekarang marilah kita lihat pendapat Ibnu Katsir. Ketika menafsirkan ayat ini, Ibnu Katsir menerangkan tentang hadis,
مَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كُتبت لَهُ حَسَنَةً، فَإِنْ عَمِلَهَا كُتِبَتْ لَهُ عَشْرًا إِلَى سَبْعِمِائَةٍ، إِلَى أَضْعَافٍ كَثِيرَةٍ. وَمَنْ هُمَّ بِسَيِّئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كُتِبَتْ لَهُ حَسَنَةً، فَإِنْ عَمِلَهَا كُتِبَتْ لَهُ وَاحِدَةً، أَوْ يَمْحُوهَا اللَّهُ، عَزَّ وَجَلَّ، وَلَا يَهْلَكُ عَلَى اللَّهِ إِلَّا هَالَكٌ
“Barangsiapa berniat melakukan kebaikan namun dia tidak (jadi) melakukannya, Allâh tetap menuliskanya sebagai satu kebaikan sempurna di sisi-Nya. Jika ia berniat berbuat kebaikan kemudian mengerjakannya, maka Allâh menulisnya di sisi-Nya sebagai sepuluh kebaikan hingga tujuh ratus kali lipat sampai kelipatan yang banyak. Barangsiapa berniat berbuat buruk namun dia tidak jadi melakukannya, maka Allâh menulisnya di sisi-Nya sebagai satu kebaikan yang sempurna. Dan barangsiapa berniat berbuat kesalahan kemudian mengerjakannya, maka Allâh menuliskannya sebagai satu kesalahan atau Allah menghapuskannya. Dan tidak ada seorang pun yang binasa karena Allah melainkan hanyalah orang yang (ditakdirkan) binasa,” (HR. Bukhari, Muslim dan An-Nasa’i).
Selain hadis di atas, Ibnu Katsir juga mengutip beberapa hadis yang intinya menjelaskan bahwa orang yang melakukan perbuatan baik, (bukan hanya sedekah) akan mendapatkan ganjaran sepuluh kali lipat. Perlu dicatat, yang dilipatgandakan sepuluh kali adalah pahalanya. Jika kita bersedekah, maka kita akan memperoleh ganjaran (pahala) sepuluh lipat, bukan kita akan memperoleh jumlah harta sepuluh kali lipat dari apa yang kita sedekahkan.
Senada dengan Qurthubi, ketika menafsirkan ayat ini, Ibnu Katsir mengutip pendapat Ibnu Mas’ud bahwa makna “hasanah” dalam ayat ini adalah mengucapkan kalimat syahadat dan “sayyi’ah” bermakna syirik. Dalam tafisr Jalalain juga disebutkan bahwa makna “hasanah” adalah kalimat tauhid.
Dengan menyelami pendapat-pendapat ulama-ulama tafsir di atas, jelas sekali bahwa pemahaman YM mengenai QS Al-an’am ayat 160 itu jauh panggang dari api.
Marilah kita simak pendapat Ibnu Katsir mengenai ayat ini,
هَذَا مَثَلٌ ضَرَبَهُ اللَّهُ تَعَالَى لِتَضْعِيفِ الثَّوَابِ لِمَنْ أَنْفَقَ فِي سَبِيلِهِ وَابْتِغَاءِ مَرْضَاتِهِ، وَأَنَّ الْحَسَنَةَ تُضَاعَفُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ
Ayat ini merupakan perumpamaan yang dibuat Allah tentang berlipatnya ganjaran (pahala) bagi orang-orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah dan (infaq itu) diniatkan untuk memperoleh ridha Allah. Dan kebajikan itu dilipatkangandakan sepuluh kali lipat hingga 700 kali lipat.
Ketika menafsirkan ayat ini, Ibnu Katsir mengutip hadis:
عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ: أَنَّ رَجُلًا تَصَدَّقَ بِنَاقَةٍ مَخْطُومَةٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “لَتَأْتِيَنَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِسَبْعِمِائَةِ نَاقَةٍ مَخْطُومَةٍ
“Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa seseorang bersedekah unta yang berstempel di jalan Allah. Lalu Rasulullah Saw bersabda, ‘Pada hari kiamat, niscaya dia akan membawa tujuh ratus unta yang berstempel,” (HR. Muslim dan An-Nasa’i).
Menurut Imam Qurthubi, ayat QS Al-Baqarah : 261 ini menerangkan keutamaan berinfaq di jalan Allah dan anjuran untuk berinfaq di jalan Allah. Ayat ini mengibaratkan infaq di jalan Allah seperti menanam benih. Atau ayat ini juga dapat dipahami: perumpamaan orang yang berinfaq di jalan Allah seperti petani yang menanam benih lalu benih itu tumbuh tujuh tangkai dan pada tiap tangkai itu terdapat seratus biji.
Imam Qurthubi berkata,
مَثَلُ الْمُتَصَدِّقِ مَثَلَ الزَّارِعِ، إِنْ كَانَ حَاذِقًا فِي عَمَلِهِ، وَيَكُونُ الْبَذْرُ جَيِّدًا وَتَكُونُ الْأَرْضُ عَامِرَةً يَكُونُ الزَّرْعُ أَكْثَرَ، فَكَذَلِكَ الْمُتَصَدِّقُ إِذَا كَانَ صَالِحًا وَالْمَالُ طَيِّبًا وَيَضَعُهُ مَوْضِعَهُ فَيَصِيرُ الثَّوَابُ أَكْثَرَ
Perumpamaan orang yang bersedekah itu seperti petani. Jika ia pandai dalam pekerjaannya, maka hasil panennya akan bagus, tanahnya subur dan tanamannya akan berbuah lebih banyak. Begitu juga dengan orang yang bersedekah, jika ia orang shaleh, harta yang disedekahkan adalah harta yang baik dan disedekahkan pada tempat yang semestinya, maka ia akan memperoleh pahala yang lebih banyak.
Kiranya, cukuplah penjelasan di atas menyadarkan kita bahwa logika matematika Yusuf Mansur tidak sesuai dengan pendapat ulama-ulama tafsir terkemuka.
Penulis teringat akan ucapan sayyidina Ali bin Abu Thalib yang ditujukan kepada kaum Khawarij,
كَلِمَةُ الْحَقِّ يُرَادُ بِهَا الْبَاطِلُ
Ucapan yang hak (benar), namun dimaksudkan untuk membela kebatilan.
Imbauan dan ajakan YM kepada masyarakat untuk senantiasa bersedakah adalah ungkapan yang benar (hak)—sesuai dengan ajaran Islam—namun sayang hal itu ditujukan untuk hal yang tidak baik, dana sedekah itu dipergunakan untuk kepentingan YM sendiri, bukan untuk pemberdayaan umat.
Pada tanggal 24 April 2015 di Koran Republika, YM memasang iklan sehalaman penuh yang berisi ajakan untuk bersedekah. Dalam iklan ini, YM mendapat sokongan dari Ayam Bakar Mas Mono dan rumah makan Waroeng Group. Selain kedua perusahaan itu, iklan YM juga mendapat dukungan lebih dari seratus (logo) perusahaan dan lembaga. Iklan ini jelas memerlukan biaya yang besar. Memang, dalam kampanye Sedekah Nasional ini YM menyebutkan, “Sedekah berapa saja, sedekah kapan saja, sedekah kemana saja”. Akan tetapi penyertaan Rekening Sedekah pada bagian yang tak terpisahkan dengan iklan itu, bisa saja diartikan sebagai upaya menggiring masyarakat supaya bersedekah ke Yayasan Darul Qur’an Nusantara. Apakah ini salah? Tentu saja salah.
Sebagaimana yang dikemukakan di depan, bahwa sedekah yang paling utama diberikan kepada keluarga. Setelah keluarga, diberikan kepada kerabat terdekat, tentangga dan orang-orang yang benar-benar membutuhkan pertolongan. Simaklah hadis berikut ini,
دِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِي سَبِيلِ اللهِ وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِي رَقَبَةٍ، وَدِينَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِينٍ، وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ، أَعْظَمُهَا أَجْرًا الَّذِي أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ
“Satu dinar engkau berikan kepada orang miskin, satu dinar engkau berikan untuk memerdekakan budak, satu dinar engkau infakkan fi sabilillah, satu dinar engkau belanjakan untuk keluargamu. Dinar yang paling utama adalah yang engkau nafkahkan untuk keluargamu,” (HR Muslim).
Lalu, apakah tidak boleh YM mengambil sebagian dari dana zakat, infak, wakaf dan sedekah? Boleh tidaknya tergantung posisi YM sendiri. Jika YM memposisikan dirinya sebagai Amil Zakat, ia berhak mendapatkan 1/8 dari harta zakat. Hal ini dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzzab bahwa Amil zakat mendapatkan 1/8 dari dana zakat yang terkumpul. Sementara dalam Fatwa MUI Nomor 8 Tahun 2011 tentang Zakat menyatakan bahwa—jika amil zakat tidak dapat gaji dari negara atau pihak lain—Amil Zakat berhak menerima bagian dari dana zakat berdasarkan asas kewajaran.
Karena itu, selain mendapatkan bagian dari Amil Zakit, YM tidak boleh mempergunakan dana zakat untuk kepentingan pribadinya. Al-Quran dengan tegas dan jelas telah mengatur peruntukan dana zakat. Simaklah firman Allah berikut ini, “Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana,” (QS At-Atubah [9]: 60).
Jika YM memposisikan dirinya sebagai nadzir (pengelola wakaf), berdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, maka YM berhak menerima imbalan dari hasil bersih atas pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang besarnya tidak melebihi 10 persen (Pasal 12).
Yang menjadi pertanyaannya adalah, pernahkan zakat, infaq, wakaf, dan sedekah yang diterima oleh YM diaudit oleh auditor publik? Audit ini penting dilakukan untuk untuk menghindari fitnah yang dahyat yang tidak saja menimpa pelakunya, tapi juga orang-orang baik-baik yang mendiamkan suatu kebatilan.
Hal lain yang perlu kita sorot dari dakwah YM adalah tema-tema ceramahnya yang bombastis, seperti yang tecermin dalam buku “Menjadi Kaya dalam Waktu 40 Hari”. Perlu kita ketahui, tidak ada jalan instan menjadi kaya (kecuali melakukan hal-hal yang melanggar syariah, seperti korupsi). Dalam buku ini YM berani menjamin bahwa seseorang akan menjadi kaya selama 40 hari jika mengikuti petunjuk-petunjuk yang terdapat dalam buku tersebut. Apakah hal ini mungkin terjadi? Bisa terjadi dan juga bisa tidak terjadi. Semuanya tergantung pada kehendak Allah. Jika Allah tidak menghendaki, jangankan 40 hari, seribu tahun pun kita tidak akan menjadi kaya jika Allah tidak menghendakinya. Bukanlah Allah telah menyatakan bahwa Dia memberikan kelebihan harta kepada siapa yang Dia kehendaki. Simaklah firman Allah berikut ini, “Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dan membatasi (bagi siapa yang Dia kehendaki). Mereka bergembira dengan kehidupan dunia, padahal kehidupan dunia hanyalah kesenangan (yang sedikit) dibanding kehidupan akhirat,” (QS. Ar-Ra’d [13]: 26). “Sungguh, Tuhanmu melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dan membatasi (bagi siapa yang Dia kehendaki); sungguh, Dia Maha Mengetahui, Maha Melihat hamba-hamba-Nya,” (QS. Al-Isra’ [17]: 30).
Dalam ayat lain Allah menyatakan bahwa jika Allah menghendaki kebaikan (kekayaan) kepada kita, maka tiada yang dapat menghalanginya. Sebaliknya, jika Allah mengendaki kemudaratan kepada kita, maka tiada yang dapat menghalanginya. Simaklah firman-Nya berikut ini, “Orang-orang Badui yang tertinggal (tidak turut ke Hudaibiah) akan berkata kepadamu, “Kami telah disibukkan oleh harta dan keluarga kami, maka mohonkanlah ampunan untuk kami.” Mereka mengucapkan sesuatu dengan mulutnya apa yang tidak ada dalam hatinya. Katakanlah, “Maka siapakah yang dapat menghalang-halangi kehendak Allah jika Dia menghendaki bencana terhadap kamu atau jika Dia menghendaki keuntungan bagimu? Sungguh, Allah Mahateliti dengan apa yang kamu kerjakan,” (QS Al-Fath [48]: 11). (Tabrani Sabiri/thayyibah)