Dua Kali Penjara Sampai Cerita Fiktif
thayyibah.com :: Mencari arsip tentang Yusuf Mansur di dunia maya, juga di sosial media, bukanlah hal sulit. Cukup ketik namanya di mesin pencari, seketika mucul ratusan konten tentang namanya, akivitasnya maupun segala produk jualannya. Menjamurnya nama Yusuf Mansur di dunia maya karena selain banyak media yang menulis tentang dirinya, dia juga aktif dalam media sosial. Di Facebook dia punya teman dengan jumlah yang maksimal, di twitter dia punya follower yang signifikan. Demikian pula dengan situs pribadinya, dikunjungi pembaca yang lumayan setiap harinya.
Itu pula sebabnya, jika ada kritikan kepada Yusuf Mansur, maka tak perlu sampai berjam-jam, ratusan komentar yang membelanya akan bermunculan. Akibatnya dapat kita lihat sendiri, hampir-hampir tak orang mengkritik Yusuf Mansur. Para pendukung Yusuf Mansur di media sosial, entah itu pendukung yang ikhlas atau pendukung jenis ‘nasi bungkus’, selalu berdalih bahwa Yusuf Mansur adalah orang saleh, orang takwa yang berpredikat ustadz sehingga tak pantas dikritik. Belakangan, pendukung Yusuf Mansur menemukan dalih baru, bahwa sebagai pengayom ratusan ribu –sebuah angka yang belum diklarifikasi—santri tahfizhul Qur’an, maka tak pantas Yusuf Mansur dikritik. Kalaupun ada yang berani, maka siap-siaplah menerima hukuman kualat. Yusuf Mansur di mata para pendukungnya adalah orang yang maksum, tak bisa bersalah dan bebas dari dosa. Padahal mereka lupa, bahwa sahabat-sahabat Nabi yang dijamin masuk surga sekalipun tak sepi dari kritikan dan mereka menerima kritikan itu dengan lapang dada.
Yusuf Mansur lahir dari keluarga Betawi pasangan Abdurrahman Mimbar dan Humrif’ah. Lulusan terbaik Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Grogol, Jakarta Barat tahun 1992 ini pernah kuliah di UIN Jakarta, namun tak pernah ada keterangan dia menyelesaikan kuliahnya atau tidak. Disebut juga dia pernah kuliah di jurusan informatika, namun keterangan ini juga minim. Pada Ramadhan yang baru lalu, Yusuf Mansur mengundang wartawan (infotainment) untuk meliput rencananya kuliah pasca sarjana di Universitas Trisakti. Terlepas dari apa dan di mana belajarnya selepas MAN itu, Yusuf Mansur tidak pernah belajar pada lembaga pendidikan tinggi Islam atau berguru pada ulama besar yang bisa memperkuat integritas keulamaannya. Satu-satunya informasi bahwa dia “akrab” dengan khazanah ilmu ke-Islam-an adalah ketika dia (pernah) kuliah di UIN itu dan sebagai cucu dari KH. Mansur pendiri Madrasah Al-Mansuriah di Jakarta Barat.
Terlepas dari apa pendidikannya, Yusuf Mansur yang lahir di Jakarta pada 19 Desember 1976 ini dikenal sebagai pimpinan Ponpes Darul Qur’an, Bulak Santri, Cipondoh, Tangerang, juga pimpinan pengajian Wisata Hati. Pada tahun 1996 dia mulai berbisnis. Namun bisnisnya malah menyebabkan ia masuk penjara. Setelah keluar dari penjara, dia kembali berbisnis tapi gagal lagi dan kembali masuk bui pada 1998. Selama ini masyarakat hanya tahu, bahwa masalah utang piutanglah yang menjadi penyebab Yusuf Mansur dua kali dipenjara. Pertanyaannya, apakah benar, hanya karena masalah utang piutang bisa membawanya ke penjara? Bukankah utang-piutang adalah masalah perdata? Sedangkan masuk penjara itu karena masalah pidana? Seperti penipuan umpamanya?
Pertanyaan di atas patut diajukan, karena belakangan, setelah Yusuf Mansur terkenal, masih ada kasus yang membawanya ke meja polisi karena dugaan penipuan yang dilakukannya. Seorang ibu bernama Sumarti melaporkan Yusuf Mansur ke Bareskrim Polri beberapa tahun lalu karena sertifikat tanah miliknya di Jalan Daan Mogot, Jakarta Barat, digelapkan oleh Yusuf Mansur. Kasus yang berawal di tahun 2003 atau lima tahun setelah dia keluar dari penjara yang kedua kali, sempat ramai di media massa walaupun akhirnya menguap. Konon, ada seorang ustadz terkenal yang diminta Yusuf Mansur untuk menyelesaikan masalah ini. Kasus dugaan penipuan yang dilakukan Yusuf Mansur rupanya tidak berhenti di situ. Insya Allah, pada tulisan yang akan datang penulis akan mengungkapnya di sini.
Tak lama keluar dari penjara yang kedua kali, Yusuf Mansur berkenalan dengan seorang polisi yang memperkenalkannya dengan sebuah LSM. Selama kerja di LSM inilah dia membuat buku Wisata Hati Mencari Tuhan Yang Hilang, buku yang terinspirasi pengalamannya di penjara. Tak dinyana, buku itu mendapat sambutan luar biasa. Dengan bahasa yang sederhana, dia bertutur tentang keajaiban sedekah. Bukunya ini mendapat tempat di hati pembaca yang akhirnya membuat dia terkenal. Undangan membedah buku tersebut datang bertubi-tubi dari berbagai kota. Dalam arena bedah buku inilah, Yusuf Mansur membumbui ceramahnya dengan kisah-kisah yang menggambarkan kesuksesan orang-orang bersedekah. Kemampuan merangkai kisah-kisah dengan bahasa yang sangat naratif membuat audiensi makin terpesona.
Dalam suatu kesempatan dalam tahun 2005 saat berceramah di satu kota di Jawa Timur, Yusuf Mansur bertemu dengan pemilik jaringan rumah makan Ayam Bakar Wong Solo, Puspo Wardoyo. Saat itu pengusaha nasional ini sudah terbiasa dengan pencerahannya tentang kekuatan sedekah. Puspo Wardoyo juga sudah berulang kali diundang stasiun televisi nasional untuk berbicara tentang kiat-kiat sukses berusaha. Mendapat kesempatan ini, Yusuf Mansur meminta agar Puspo Wardoyo mengajak sekaligus mensponsorinya untuk tampil dalam satu program TVRI. Akhirnya Yusuf Mansur tampil juga di TVRI dengan biaya produksi yang dibantu oleh Puspo Wardoyo. Dari penampilannya di stasiun televisi milik pemerintah ini, Yusuf Mansur makin terkenal dan dia mulai dilirik oleh televisi swasta lainnya juga oleh rumah produksi sinetron.
Rumah produksi SinemArt menangkap kisah-kisah sukses orang bersedakah yang dituturkan Yusuf Mansur dalam setiap ceramahnya ini sebagai sebuah sumur uang. SinemArt lalu memproduksi serial sinetron Wisata Hati yang disiarkan oleh RCTI kala itu. Pesinetron ternama dan sutradara handal (alm) Chairul Umam juga ikut dalam produksi ini. Ada tukang bubur keliling bisa pergi haji, ada perawan tua yang mendapat jodoh, ada tukang becak yang bisa dapatkan bajaj, ada orang berutang dan bisa melunasi utangnya dan masih banyak lagi, adalah rangkaian cerita dalam sinetron wisata hati itu.
Selain sinetron, Yusuf Mansur juga menggarap film berjudul Kun Fa Yakuun yang dibintanginya bersama Zaskia Adya Mecca, Agus Kuncoro, dan Desy Ratnasari. Film ini merupakan proyek pamungkas dari kegiatan roadshow (ceramah keliling) berjudul sama selama Januari-April 2008.
Tidak sedikit orang yang menduga, bahwa rangkaian kisah yang akhirnya disinetronkan itu adalah cerita-cerita fiktif yang lahir dari imajinasi Yusuf Mansur sendiri. Kecurigaan itu beralasan, karena Yusuf Mansur bisa dengan detail mengisahkan cerita-cerita itu, termasuk dialog-dialog, suasana hati dan keadaan sekitar para tokoh. Kecurigaan ini makin kuat ketika ada beberapa orang yang mengaku pernah bekerjasama dengan Yusuf Mansur dalam memproduksi cerita-cerita itu.
Jika kisah-kisah itu fiktif yang lahir dari imajinasi Yusuf Mansur dan bertujuan untuk menghimpun dana masyarakat dengan balutan sedekah, yang kemudian dana tersebut diambilnya sendiri tanpa ada bentuk pertanggungjawaban secara benar dan transparan, maka patut kita mempertanyakan niat Yusuf Mansur itu, apakah dia memproduksi sebuah kebohongan? Karena walaupun bertujuan baik, namun dilatarbelakangi dengan kebohongan, maka nilainya tetap kebohongan. Wallahu a’lam. (tabrani/thayyibah)
bersambung…